Begitu strategisnya peran Pilkada tidak hanya dirasakan oleh partai politik yang memang memiliki fungsi sebagai aktor utama pesta demokrasi saja, tapi juga oleh mereka yang memiliki intensi kuat untuk menduduki jabatan politik melalui hajatan rakyat ini. Para petahana yang bermaksud hendak memperpanjang jaring kekuasaan, sudah mulai kehilangan fokus melayani rakyat setulus hati. Kasak-kusuk menyusun kekuatan dan strategi jelang Pilkada jauh lebih memiliki urgensi ketimbang menyelesaikan bakti kepada rakyat di masa jabatan tersisa. Lobi-lobi, atur strategi, susun logistik dan amunisi politik jadi menu mereka sehari-hari.
Terlepas dari aktivitas para petahana tersebut, ada realitas baru yang mencolok, yakni berduyun-duyunnya para jenderal militer dan kepolisian mengajukan pensiun dini ke institusi masing-masing demi menjadi kontestan dalam Pilkada. Tengok saja, Letjen TNI Edy Rahmayadi yang menjabat Pangkostrad, mengajukan pengunduran diri dari TNI AD demi mengikuti perhelatan Pilkada di Provinsi Sumatera Utara. Irjen Pol Anton Charliyan yang baru-baru ini dimutasi dari jabatan Kapolda Jawa Barat menjadi Analis Kebijakan Sespimti, Sespim Lemdiklat Polri, secara resmi dicalonkan PDIP sebagai Cawagub Provinsi Jawa Barat. Lainnya, ada Irjen Pol Murad Ismail yang sudah menyatakan akan maju dalam Pilkada Maluku, serta Irjen Pol Safaruddin yang digadang-gadang akan maju dalam Pilkada Kalimantan Timur.
Di tengah "arus pasang" jenderal militer dan polisi untuk terjun ke ranah politik, publik tanah air disuguhkan berita sejuk dari bumi Surabaya. Walikota Surabaya saat ini, Tri Rismaharini, menolak pencalonannya sebagai Cawagub Provinsi Jawa Timur yang diusung oleh PDIP. Cawagub PDIP untuk Jawa Timur sebelumnya diplot untuk Azwar Anas yang akhirnya mengundurkan diri. Penolakan Risma, seperti yang diutarakannya, adalah demi menyelesaikan masa baktinya kepada rakyat Surabaya. Sontak, simpati, pujian dan ucapan terima kasih mengalir deras dari warga Surabaya dan sekitarnya kepada Tri Rismaharini atas suri teladan yang ditunjukkannya dengan tidak mengingkari amanat rakyat yang memilihnya.
Pilkada, secara genealogis dan filosofis merupakan produk politik tulen. Dalam kacamata kaum realis politik, sudah barang tentu Pilkada dipandang sebagai "jembatan emas" menuju kekuasaan. Memenangi Pilkada berarti mendapat "golden ticket" untuk memimpin sebuah daerah, lengkap dengan penduduk dan kekayaan sumber dayanya. Logika ini sedikit banyak bisa menjelaskan mengapa ada menteri yang rela melepaskan jabatannya demi bertarung di Pilkada. Lebih jauh, memenangi Pilkada dapat menjadi sarana untuk bertarung di level yang lebih tinggi; dari bupati/walikota ingin jadi gubernur, dari gubernur ingin jadi presiden atau wakil presiden. Kentalnya motivasi politik dan kuasa dalam Pilkada menjadi faktor penjelas mengapa para pejabat negara rela mengajukan pensiun dini demi mengejar “kuota waktu kekuasaan†yang lebih panjang.
Mereka yang menganut idealisme politik dan mengagungkan kebajikan demokrasi pasti meringis menyaksikan fenomena duyun-duyun pensiun dini demi mengejar jabatan publik produk Pilkada. Begitu juga dengan ketidakfokusan petahana dalam melayani rakyat. Dalam perspektif idealisme politik, jabatan, apapun etalasenya, adalah sarana untuk mengabdi. Oleh sebab itu, jika duyun-duyun pensiun dini dan kasak-kusuk petahana dirasionalisasi dengan alasan untuk berbakti kepada rakyat, akan menjadi sangat ironis dan menggelitik saraf kewarasan publik. Mengapa tidak fokus menyelesaikan masa bakti sampai tuntas pada jabatan sekarang, apalagi jabatan yang berhubungan dengan bakti kepada negara? Fokus petahana pada pelayanan kepada rakyat, pada hakikatnya menjadi senjata pamungkas untuk mengagregasi dukungan, bukan dengan kasak-kusuk dan ketidakfokusan.
Catatan khusus mungkin bisa kita berikan untuk para petinggi militer yang ingin terjun pada kontestasi Pilkada. Fakta "keoknya" AHY dalam satu putaran di Pilkada DKI Jakarta tahun lalu setidaknya dijadikan pembelajaran bahwa atribut militer tidak lagi menjadi jaminan untuk mengagregasi dan mengkapitalisasi suara rakyat secara masif. Rakyat saat ini yang dikatalisasi spirit demokrasinya oleh generasi milenial memiliki pemahaman sendiri yang cenderung baru dan kompleks mengenai aspek kepemimpinan. Pemimpin yang dibutuhkan bukanlah pemimpin bersuara keras dan berbadan tegap, tapi pemimpin yang demokratis, mengenakan banyak topi untuk menghadapi ragam situasi, memeluk perubahan, fleksibel dan mengakar pada masyarakat. Terpenting, memiliki rekam jejak ciamik, tanpa korupsi. Jika sedikit lebih cermat, alangkah bijak dan bajiknya jika belajar pada sejarah SBY, bapak AHY sekaligus Presiden keenam RI yang berstatus jenderal purnawirawan. Butuh jeda 4 tahun bagi SBY sebelum bertarung di ajang Pilpres. Pun usaha keras melekatkan citra "Sang Demokrat" demi membaur pada khitah kehidupan sipil.
Para pemuja idealisme politikpun menangis melihat tindak-tanduk parpol yang lebih mengutamakan kalkulasi suara dan popularisme dalam hajatan Pilkada. Mereka yang ditetapkan sebagai calon, menggunakan kriteria yang tidak sepenuhnya mewakili hati nurani rakyat. Mesin partai politik yang sungguh dominan dan hegemon pasca reformasi menyajikan pilihan yang sulit bagi rakyat. Sebagai konsekuensinya, rakyat memilih dengan skema "minus malum", terbaik dari yang terburuk. Yang lebih buruk, kemenangan sang calon produk skema "minus malum" ini dibungkus sebagai kehendak dan aspirasi rakyat. Di sinilah akar masalah mengapa kebutuhan rakyat tidak terpenuhi. Rakyat dibodohi. Hak rakyat dipancung secara sistematis!
Pembela republik, patriot negeri serta para pendukung ideliasme politik tak boleh tinggal diam menyikapi fakta ini. Demokrasi kita berpotensi tergadai untuk kesekian kalinya. Masih ada cukup waktu untuk menguatkan nalar kritis dan mengasup gizi otak kepada rakyat agar memilih dengan hati nurani. Jangan sampai tergiur oleh kamuflase dan dramaturgi yang disajikan oleh para pengerat kekayaan negara.
Masyarakat madani yang berjihad di jalur penguatan demokraasi sudah seharusnya mencanangkan perang total untuk mengawal proses Pilkada. Caranya; memberikan advokasi kepada rakyat mengenai prosedur Pilkada yang benar, menguatkan opini publik bahwa rakyat perlu menelusuri rekam jejak para calon, semacam uji publik, menguji visi misi para calon, apakah sesuai dengan kebutuhan rakyat atau sekedar retorika kecap manis sesaat, serta menagih transparansi para calon terkait dana kampanye serta jumlah harta kekayaan yang dimiliki. Masyarakat madani juga harus mengawasi secara ketat suprastruktur politik pemilu seperti KPU dan Bawaslu agar persisten dan tidak melenceng dalam melaksanakan tugasnya.
Sebagai penutup tulisan ini, saya teringat diskusi kecil di kampus Unpad 8 tahun silam dengan Max Lane terkait istilah beliau tentang bangsa yang belum selesai. Mungkin benar, bahwa keping Indonesia sebagai sebuah bangsa belum tersusun dengan utuh. Arus reformasi sudah melanda sejak 20 tahun silam, namun demokrasi substansial belum berkenan untuk menghampiri. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang rakyat memilih satrianya yang berbudi luhur, masih ditunggangi oleh leviathan-leviathan yang haus uang dan kekuasaan. Miris.
[***]Boy AnugerahCandidate Master in International Relation Universita Cattolica del Sacro Cuore Italia, Direktur Eksekutif Literasi Unggul Consulting