Tapi, mari kita tunggu saja prosesnya. Karena, politik itu dinamis, dimana setiap saat bisa berubah tergantung dinamika internal dan eksternal. PDI Perjuangan sebagai partai besar langsung dikendalikan Ketua Umum Ibu Megawati memiliki daya tawar tinggi. Kematangan berpolitik Megawati kadang-kadang sulit diduga lawan politiknya. Pengurus PDI Perjuangan boleh bermanuver, karena itu bagian dari demokrasi tetapi hak penentukan siapa calon gubernur DKI ada di tangan ketua umum. Dinamika perpolitikan DKI menjadi seru, karen manuver politik selalu berubah-ubah. Berpolitik penuh dengan ketidakpastian dan intrik untuk menemukan konsesus .
Hal ini membuat publik kerap kali menjadi bingung, bahkan terlukai perasaannya. Dalam berpolitik dibutuhkan kematangan melihat realitas apa yang terjadi. Pilkada Jakarta jelas yang menonjol adalah menjual sosok seorang lewat politik branding. Pemasaran politik sebagai cabang kajian akademis sebenarnya sudah mulai menjadi perhatian para ilmuwan komunikasi dan politik pada 1950-an. Namun implementasinya baru berkembang tahun 1980-an, ketika media televisi memiliki peran sangat penting dalam penyampaian pesan.
Kajian pemasaran politik secara akademis ini dari waktu ke waktu mengalami pergeseran penekanan (Adman Nursal): Shama (1975) dan Kotler (1982) menekankan pada proses transaksi antara pemilih dan kandidat, O’Leary dan Iradela (1976) pada penggunaan marketing mix mempromosikan partai politik, Lock dan Harris (1996) pada proses positioning, dan Wring (1997) menekankan penggunaan riset opini dan analisa lingkungan. Dengan demikian, hal yang tampak baru dalam perkembangan pemasaran politik adalah pada penerapan riset pemasaran atau riset opini.
Konsep pemasaran sendiri mengalami pergeseran perspektif dari orientasi internal perusahaan (internal oriented) ke orientasi pasar (market oriented). Orientasi pada produk saja belumlah memadai, tapi harus memperhitungkan kondisi pasar. Dalam orientasi pasar terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu orientasi pada konsumen (customer oriented) dan orientasi pada pesaing (competitor oriented). Di sini, konsep market oriented tidak berarti harus sepenuhnya memenuhi apa keinginan pasar karena ada ideologi dan aliran pemikiran khas yang tentunya harus dipertahankan.
Konvergensi yang ditawarkan dari pandangan pro dan kontra pemasaran politik adala pemasaran politik berbeda dengan pemasaran komersial. Pemasaran politik memerlukan berbagai pendekatan keilmuan dan bersifat khas karena produk politik sangatlah berbeda dengan produk komersial, baik ditinjau dari karakteristik produk maupun karakteristik konsumennya. Pemasaran politik memiliki dimensi lebih luas dan karenanya lebih kompleks.
Firmanzah dalam bukunya, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, mengatakan pemasaran politik menempatkan pemilih sebagai subyek, bukan obyek dari partai politik atau kandidat. Pemasaran politik menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal menyusun program kerja yang ditawarkan dengan bingkai ideologi masing-masing partai atau kandidat. Pemasaran politik ini tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools menjaga hubungan dengan pemilih, sehingga dari sini akan terbangun kepercayaan untuk selanjutnya memperoleh dukungan suara mereka.
Pertarungan Pilkada DKI adalah pertarungan branding di mana sosok yang mampu menguasai dunia maya, memiliki gagasan segar dan mampu keluar dari lingkaran kesukuan, keagamaan serta pandangan sempit akan unggul. Yang dibutuhkan sekarang bagaimana Partai politik bisa memanfaatkan peluang dengan menciptakan branding yang baru. Munculnya lawan yang tak terduga akan mengubah persaingan politik dan menjadikannya lebih seru. Parpol juga dituntut untuk mampu membaca tanda zaman dan menyerap aspirasi warga yang haus akan perubahan. Dalam Pilkada mendatang, rakyat akan memilih pemimpin dengan visi yang jelas dan terukur. Keputusan PDIP akan pertimbangkan hal ini karena DKI pusat keadaban Indonesia yang harus dijaga keutuhan multi kultur nya dan pembanguan berkelanjutannya. Ibu Mega sebagai seorang negarawan dia memikirkan KeIndonesia bukan semata-mata kepentingan partai. Inilah membedakan partai yang lain kerapkali hanya berpikir pragmatisme.
Kita harus menegaskan kembali makna berpolitik dan berkekuasaan, mengembalikan makna berpolitik untuk kepentingan perjuangan semesta, untuk membangun Indonesia menjadi negara yang makmur dan luhur. Berpolitik bukan jurus aji mumpung sekadar meraih kekuasaan, berpolitik adalah seni membangun kemajuan bangsa. Disorientasi politik akan membawa bangsa ini ke jurang kesengsaraan yang amat dalam. Pada tataran ini kita harus belajar dari para pendahulu negeri ini di mana mereka bisa mewarnai politik dengan gagasan-gagasan besar Indonesia masa depan.Berpolitik adalah untuk membangun bangsa ini dengan penguasa yang berpihak kepada rakyat, bukan kepada mereka yang memiliki uang semata. inilah sebenarnya dijadikan pegangan Ibu Megawati berpolitik adalah keutamaan untuk rela berkorban demi bangsa dan negara.
Visi kenegaraan itulah menjadi pegangan Ibu Megawati dalam berpolitik demi kebaikan bangsa bukan semata-mata kepentingan partai. Visi kenegarawan Ibu Megawati dalam banyak hal mengorbankan kepentingan politik yang sempit karena kepentingan bangsa lebih diutamakan.
[***]Benny Susetyo Pr
Budayawan