Gairah Merestorasi Sistem Pemilu

Kamis, 04 Agustus 2016, 11:11 WIB
Gairah Merestorasi Sistem Pemilu
Foto :Net
PASCA reformasi Indonesia telah melewati empat kali pemilu. Partisipasi publik pada pemilu-pemilu tersebut perkembangannya sejauh ini dalam grafik survei menunjukkan trend pasang-surut. Fenomena itu akibat jumlah partai politik yang terlalu "berserak" salah satunya. Multi partai ini pula barangkali di duga yang menyuplai dampak terjadinya kristalisasi politik hingga di usia15 tahun reformasi saat ini. Dan perlu di ingat euforia multi partai pada waktu awal reformasi kita hampir saja gagal dalam berdemokrasi.

Singkatnya pada pemilu-pemilu sebelumnya tersebut adalah perkembangannya yang terjadi sejauh ini terdapat partisipasi publik dalam grafik survei menunjukkan trend pasang-surut. Angka partisipasi publik pada Pilpres 2014 sebesar 69,58 persen sementara di waktu Pilpres 2009 sebesar 71,17 persen. Angka tersebut membuktikan partisipasi masyarakat pada Pilpres tahun 20014 lebih rendah 5 persen ketimbang pemilu sebelumnya.

Persoalan lainnya selanjutnya yang menjangkiti parpol sepanjang beberapa tahun terakhir ini kenyataannya menurut banyak survei, bahwa tren turunnya party id. Tren tersebut dapat artikan bahwa masyarakat merasa dirinya telah terbebas dari pengaruh partai politik. Mayoritas pemilih ini dikenal sebagai pemilih independen, tanpa orientasi kepartaian.

Publik tidak lagi merasa terikat dengan partai politik, melainkan dengan figur yang diajukan Parpol. Kendati pun partai-partai politik berkoalisi, namun pemilih tetap saja menilai sekaligus mendukung figur yang diusung oleh parpol, bukan partai politik pengusungnya. Fenomena ini terjadi hampir di semua Pemilu, baik dalam pemilu legislatif maupun Pilpres dan bahkan kejadian serupa terkadang berlangsung pada kontestasi politik lokal Pilkada.

Berdasarkan pengalaman serta kenyataan di atas, akibat multi partai yang bobotnya berlebihan itu, yang menguras banyak energi politik Bangsa. Selain menimbulkan kemubaziran dalam partisipasi politik bahkan terkadang juga bisa menghasilkan gangguan stabilitas nasional.

Oleh karena negara ini telah kenyang dari sumbangsih dinamika demokrasi yang cukup selama ini, maka tentu saja perlu di koreksi dan di kompilasi menjadi bagian pembelajaran penting bagi Pemilu berikutnya. Geliat partisipasi masyarakat dalam Pemilu sebelumnya, harusnya sebagai bahan rujukan untuk direfleksikan bersama-sama sebagai upaya terus-menerus menggairahkan sistem Pemilu kita. Bahwa pesta Demokrasi sekali lima tahun itu oleh instrumen politik diwajibkan merancang tools politik yang semakin lebih ideal (terbuka dan transparan) demi memenuhi hak-hak konstitusionalnya masyarakat Indonesia.

Satu kesamaan semangat ikhtiar merestorasi instrumen politik dari publik itulah memancing hipotesa baru dari partai Nasdem. Dengan mengusung ambang batas Parpol bisa menempatkan wakilnya di DPR naik dari 3,5 persen menjadi tujuh persen yang di usung oleh partai NasDem adalah ambang batas  Parliamentary Threshold tersebut yang katanya NasDem berkomitmen dalam pembahasan revisi RUU Pemilu nantinya akan diperjuangkan oleh Legislatornya di senayan. Ibarat penyakit kanker yang telah lama menjangkiti organ badan, harus di diagnosa dan metode dari Nasdem diyakini pengobatannya yang mujarab.

Indonesia perlu menerapkan ambang batas tersebut agar tidak mengulang kegagalan seperti pada masa awal reformasi. Yang impac sosial politiknya tidak hanya berkurangnya jumlah partai di parlemen, atau kedepan pada pokoknya mutu Demokrasi akan lebih berkualitas. Tetapi jauh lebih besar daripada yang di bayangkan, yaitu keadaban bangsa seperti apa yang dicita-citakan dapat tercapai.

Obsesi PT 7 Persen Nutrisi Bagi Demokrasi
Secara teoritik bahwa gambaran besar siklus idealnya demokrasi kemajuan kualitasnya dapat dilihat dari standart normative demokrasi prosedural naik setingkat ke demokrasi partisipatif selanjutrnya bergerak pada level demokrasi terkonsolidasi yang substantive.

Tetapi faktanya bangunan sistem ini justeru mengalami kondisi yang timbun paradoksal, akar problemnya ialah demoralisasi terjadi pada partai-partai politik sebagai institusi penunjang utama pilar demokrasi.

Artinya jika dikontekstualkan dengan siklusi demokrasi diatas sebenarnya usulan sistem terbuka dan PT tujuh persen dari Nasdem ini bukan hal baru. Sebelumnya yang terdengar dari partai besutan Surya Paloh ini telah lama menyodorkan gagasan tersebut. Namun tidak ada yang sanksi terobosan politik NasDem ini dapat dikaji secara akademik serta diuji secara empirik nantinya.

Pada konteks itu harusnya diletakkan bahwa semangat NasDem tidak ada mendikatomikan partai kecil atau besar. Tetapi mustinya tawaran kenaikan PT tujuh persen tersebut bukan hanya untuk Nasdem tetapi demi memperkuat sistem presidensial.

Barangkali wajar jika anomali sebagian kalangan menilai obsesi 7 persen itu tidak rasional karena terlalu besar dan seterusnya. Bahkan kegetiran kenaikan ambang batas ini dipandang akan menjegal partai-partai baru dan menengah. Apapun mengenai kekhawatiran sejumlah pihak dapat dimaklumi.

Obsesi politik tujuh persen ini mustinya dipandangan sebagai nutrisi dalam berbangsa dan bernegara. Karena tentu saja hal ambang batas itu bukan ingin memuseumkan partai-partai kecil atau partai menengah. Sebab apabila kalkulasi politik yang menjadi rumusnya, bahwa angka ambang batas yang tinggi juga tidak semata-mata menguntungkan partai besar. Tetapi menjadi tantangan bagi semua partai, termasuk partai-partai besar karena angka 7 hingga 10 persen bukanlah angka yang mudah diraih belum lagi dinamika politik yang sangat dinamis.

Demokrasi Kian Temukan Sandaran
Apakah di Nasdem Demokrasi kina temukan sandaran subtansinya? Pertanyaan sekaligus menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang menjadi tanggungjawab terutama bagi elite-elite partai politik serta hanya publik atau khalayak yang bisa menjawabnya.

Namun terlepas dari itu sekali lagi memang sudah waktunya bangsa ini membuka pikiran untuk mengakhiri era multi Partai. Multi partai ini kita harus akui hanya euforia bereformasi. Multi partai yang diakui potensial hasilkan konflik kepentingan yang beranak-pinak, saling sikut-menyikut, jenggal-menjegal satu sama lainnya. Meski padahal tujuan politik pemilu itu adalah kompetisi.

Oleh karena itu maka penyederhanaan partai di parlemen merupakan keniscayaan dalam rangka penguatan sistem demokrasi dan penyederhanaan proses pengambilan keputusan politik.

Dengan syarat ambang batas tujuh persen yang tularkan partai NasDem, memang tidak dapat dipungkiri secara alamiah akan mengurangi partai di parlemen. Kurangnya partai di parlemen tidak sekedar mengurangi tarik menarik kepentingan yang membuyarkan sistem presidensial.

Untuk itu bagi kita memerlukan restorasi di dalam tubuh semua partai politik. Obsesi partai Nasdem memperbaiki kualitas demokrasi harusnya di sambut baik oleh semua pihak. Terlepas apapun dalil perbedaannya.

Perhatian partai Nasdem pada sistem pemilu ini begitu besar, membahas sedini mungkin hal ini untuk persiapan pemilu ke depan pemilu masih tiga tahun lagi. Meski memperbaiki kualitas sebuah sistem di akui memang bukan pekerjaan yang mudah, maka hal yang menjadi laku dari Nasdem disebut langkah terobosan, karena sikap semacam ini terkadang sangat langka di republik ini.

Pemilu-pemilu sebelumnya sudah memberikan data dan fakta yang semakin terang benderang. Masalahnya cuman satu, kita tidak punya grand design terobosan soal bagaimana menyandarkan pesta demokrasi sekali lima tahun ini pada substansinya.

Kini khalayak tinggal menunggu atensi politik ini dapat di paripurnakan, tentu itu sangat tergantung pada selera elite partai-partai yang ada di parlemen pada saat ini. Jadi oleh kerena semua hal partailah yang dominan menentukan, kita hanya mengingatkan.

Lalu bagaimana pilihan dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup ini juga bagian penting. Review singkat yang perlu menjadi catatannya adalah jika tetap dipilih sistem proporsional tertutup maka apolitik kian marak. Artinya apatisme publik pada politik semakin tinggi. Sebab yang pasti sistem tertutup bila persentasekan sekitar 70 persen dominan pengambilan keputusan kebijakan publik itu ada pada partai sementara hanya 30 persen partisipasi masyarakat.

Dan terlepas dari kekurangannya, gagasan atau terobosan ambang batas tujuh persen dan sistem terbuka Nasdem punya kecocokan dengan sistem presidensial. Artinya kesimpulan sementara khalayak akan menilai disinilah, pada Nasdem demokrasi kian menemukan sandarannya.[***]


Mujamin Innce

Peneliti di Populis Institute

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA