Ade bukanlah orang baru di Senayan. Bahkan, di tahun 2010, ia pernah memperoleh julukan Koboy Senayan. Hal ini dipicu oleh pola pikirnya yang kritis dan tajam terhadap kebijakan-kebijakan DPR yang tidak berpihak pada rakyat. Di tengah keterpurukan nama baik DPR, Ade ditunjuk menjadi panglima. Tentunya, ini bukan hal yang mudah. Ade dituntut agar mampu mengembalikan citra DPR di mata rakyat. Kemantapan berpolitik serta keberpihakan terhadap rakyat harus menjadi kompas dalam setiap langkahnya.
Jika kita mencoba menoropong napak tilas Ade selama menjadi mahasiswa, maka kita akan menemukan sosok The Idea of Progress dalam dirinya. Hal ini dapat dibuktikan saat ia memimpin Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat. Saat itu, banyak sumbangsih pemikiran Ade yang sangat kental dengan nuansa "mazhab Ciputat". Yakni, pemikiran yang berbingkai keislaman dan keindonesiaan. Bahkan hingga sampai saat ini, banyak artefak pemikirannya yang diwariskan kepada kader-kader HMI Cabang Ciputat.
Kita bisa melihat bahwa Ade mampu memetakan bagaimana seharusnya HMI Cabang Ciputat melangkah. Ide cemerlangnya ini tertuang dalam buku "Membingakai Perkaderan Intelektual; Refleksi 50 tahun HMI Cabang Ciputat" dengan judul HMI Back to Campus. Tentunya, pemetaan seperti ini bukanlah hal sembarangan. Melainkan perlu refleksi panjang yang disertai pengalaman mendalam. Pada intinya, Ade berpesan kepada kader HMI Cabang Ciputat untuk kembali kepada peran sejatinya sebagai mahasiswa.
Ia membedakan bentuk perjuangan HMI dari tahun ke tahun. Di era globalisasi seperti sekarang ini, ia berpesan bahwa mahasiswa tidak perlu terjun penuh ke dalam dunia politik. Mahasiswa justru dituntut untuk fokus terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sesuai bidangnya masing-masing. Hal ini demi tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Sebab jika suatu negara tidak mampu menyediakan SDM yang baik saat arus globalisasi datang, maka segala sektor akan dikuasai oleh asing. Dengan melihat peran kampus adalah sebagai tulang punggung pemasok SDM yang berkualitas, maka mahasiswa harus Back to Campus (kembali ke kampus). Dengan harapan, agar negara kita tidak kekurangan pasokan SDM yang mumpuni.
Cerita berbeda datang di tahun 1988, saat Ade menjabat sebagai ketua umum HMI Cabang Ciputat. Kala itu, HMI sedang mengalami dinamika yang tajam. Yakni terjadinya perpecahan dalam tubuh HMI, Ada kubu HMI DIPO dan HMI MPO. HMI DIPO dipimpin oleh M. Shaleh Khalid yang terpilih di kongres Padang. Sedangkan HMI MPO dipimpin oleh Eggi Sudjana yang dipilih di Yogyakarta. Perpecahan ini disinyalir akibat diberlakukannya kebijakan asas tunggal oleh Soeharto. Asas tunggal merupakan kebijakan yang mengharuskan seluruh organisasi berasaskan pancasila. Saat itu, barisan HMI yang menerima asas tunggal menamakan dirinya HMI DIPO, sedangkan barisan yang mempertahankan Islam sebagai asas dan menolak asas pancasila, mendeklarasikan diri sebagai HMI MPO.
Betapapun perpecahan itu terjadi, Ade memandang bahwa ini bukan perpecahan, melainkan sebuah strategi. Yakni strategi membelah diri demi menjaga keberlangsungan HMI. Bagi Ade, Jika HMI sepenuhnya bertahan pada asas Islam, maka pemerintah akan membombardir HMI. Sehingga usia HMI dipastikan hanya tinggal menghitung hari saja. Sementara jika HMI sepenuhnya meninggalkan asas Islam, maka mandat Lafran Pane saat mendirikan HMI untuk menyiarkan agama Islam akan musnah secara pelahan. Pandangan demikian, tentu mencerminkan sosok Ade yang mampu memaknai perbedaan pandangan sebagai sebuah anugrah yang terdapat hikmah di dalamnya. Sungguh pandangan seorang aktivis yang jernih dan bijak.
Secara politis, saat itu HMI Cabang Ciputat di bawah pimpinan Ade berada dalam barisan HMI DIPO. Namun harus diakui bahwa upaya untuk mengislahkan HMI DIPO dan MPO datang dari HMI Cabang Ciputat. Upaya tersebut berangkat dari gaya berfikir "Mazhab Ciputat" yang dikumandangkan Ade. Yakni pandangan keislaman dan keindonesiaan. Mungkin saat ini, paradigma Islam Indonesia sudah memperoleh tempat yang layak. Buktinya, hari ini gagasan Islam Nusantara menggaung merdu. Berbeda halnya dengan saat itu, polarisasi Islam dan Indonesia begitu kentara adanya. Sehingga ada dikotomi besar antara ideologi pancasila dan Islam.
Di tangan Ade, HMI Cabang Ciputat menjadi garda terdepan untuk mendistribusikan solusi atas konflik ideologi tersebut. Tafsir pancasila dicetuskan melalui kacamata Islam, sehingga secara pelahan terbangun sebuah paradigma bahwa pancasila memiliki kandungan nilai-nilai keislaman di setiap silanya. Tentu, gagasan ini melalui diskusi yang panjang dan tantangan yang tidak mudah. Klaim sesat dan menyesatkan datang silih berganti. Apalagi adanya kepentingan politik yang datang sebagai penumpang gelap, dibawa oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab. Tapi sejarah membuktikan, gagasan Islam Indonesia yang diperjuangkan oleh Ade kala itu, telah menetas di rahim yang berbeda dengan istilah Islam Nusantara.
Siapa sangka, karir Ade secara pelahan menanjak naik. Hingga saat ini, Ade mampu memberanikan diri untuk menduduki kursi nomor satu di Senayan. Tentunya, ini merupakan harapan yang baik. Di tengah merosotnya moral para pemimpin yang minim gagasan, maka dibutuhkan kehadiran sosok yang religius serta memiliki wawasan yang luas dan ide-ide progresif seperti Ade Komaruddin.
Muflih Hidayat
Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Cabang Ciputat