Dampak Bencana Kabut Asap: Dari Dimensi Kesehatan Hingga Hubungan Internasional

Kamis, 10 September 2015, 08:48 WIB
PRESIDEN Joko Widodo sudah menginstruksikan kepala daerah dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas dalang terjadinya kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Akan tetapi, tindakan ini direspon dingin oleh masyarakat, sebab dari presiden ke presiden, tindakan serupa sudah dilakukan, dan kejadian kabut asap masih saja terus terjadi setiap tahun.

Seingat penulis, bencana kabut asap ini pertama kali datang di daerah Sumatera pada musim kemarau tahun 1997. Kala itu penulis yang sedang duduk di bangku kelas 3 SD diperintahkan untuk libur selama satu atau dua minggu. Waktu itu, masyarakat kebanyakan (terutama anak-anak) masih bingung. Kami bingung membedakan antara kabut asap dan kabut embun pagi, serta bingung apakah asap pekat ini berbahaya atau tidak bagi manusia. Setelah tahun 1997, bencana kabut asap rutin hampir setiap tahun menyambangi kota Jambi.

Momen kedua yang penulis sangat ingat terjadi tahun 2004, ketika baru saja menginjakkan kaki di bangku SMA. Kali ini momennya lebih mengerikan. Entah ada hubungannya atau tidak, yang pasti ketika (lagi-lagi) bencana kabut asap menimpa kota Jambi, tiba-tiba banyak sekali teman-teman SMA penulis yang terkena penyakit kuning (hepatitis). Penulis ingat ketika itu ada sekitar puluhan teman-teman yang mendadak mata dan mukanya berubah menjadi kekuning-kuningan. Banyak di antara mereka yang kemudian harus menghabiskan biaya dan waktu menginap di rumah sakit. Dan (lagi-lagi) sekolah kami diliburkan satu sampai dua minggu.

Momen ketiga yang masih terekam adalah ketika penulis duduk di bangku kuliah strata satu di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, sekitar tahun 2008/2009. Walaupun Yogyakarta tidak terkena dampak bencana kabut asap, akan tetapi isu tersebut masih menjadi pembahasan. Namun sudut bahasannya sudah berbeda, karena yang dibahas adalah bagaimana dampak hubungan diplomatik Indonesia dan negara ASEAN akibat bencana kabut asap yang sudah menimpa negara-negara tetangga terdekat seperti Singapura dan Malaysia. Isu ini dikenal dengan istilah 'Transboundary Haze'.

Sekedar mengingatkan, saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah melontarkan satu komentar pedas yang kurang lebih berbunyi "Malaysia dan Singapura saat ini marah-marah karena terkena dampak asap kebakaran hutan dari Sumatera, padahal selama ini mereka akan menikmati udara segar dari hutan Sumatera secara gratis."

Momen yang juga masih segar adalah ketika tahun lalu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono meminta ketegasan aparat untuk menindak perusahaan-perusahaan nakal yang terlibat dalam pembakaran hutan di Riau. Tindakan ini sekilas kelihatan efektif, sebab aparat keamanan memang berhasil mengantongi sejumlah nama perusahaan, dan kemudian menyeretnya ke pengadilan (walaupun kabarnya hanya terdengar samar-samar). Namun ironinya kini di tahun 2015, masyarakat di sebagian Sumatera kembali terkena bencana kabut asap. Bahkan untuk daerah Jambi, ini adalah bencana kabut asap yang paling parah. Titik ISPU bahkan pernah berada di angka 324, yang menandakan udara sudah sangat tidak layak untuk kegiatan bernafas.  

Deretan momen-momen ini sengaja penulis hadirkan untuk menunjukkan dua hal. Pertama, kabut asap ini merupakan kejadian yang sudah berulang-ulang kali terjadi (setidaknya) sejak 18 tahun lalu, dan belum juga menemukan solusi permanen. Kedua, penulis ingin menunjukkan bahwa persoalan bencana kabut asap ini sudah menyentuh berbagai dimensi kehidupan, yaitu Ekonomi, Sosial, Politik, Hukum, serta Kesehatan. Begitu banyak kegiatan masyarakat yang terhambat akibat bencana ini, seperti penundaan/pembatalan jadwal penerbangan (apalagi saat ini sedang musim haji), peliburan sekolah, atau kegiatan-kegiatan ekonomi yang ada di luar ruangan. Dimensi hubungan internasional pun ikut terganggu. Proses penegakan hukum pun ikut dipertanyakan.

Dan yang paling aktual: berapa banyak penduduk Indonesia yang harus mengalami penurunan kesehatan? Masyarakat kebanyakan belum sadar akan hal ini, makanya mereka masih banyak yang beraktivitas di tengah kabut asap. Padahal jika saja mereka tau detil dari mana asap ini berasal (apa-apa saja tanaman dan barang-barang yang terbakar), dan apa reaksi kimianya terhadap tubuh, mungkin mereka tidak ingin sedetik pun keluar dari rumah. Di Riau dan Jambi, saat ini sudah ditemukan ribuan kasus ISPA.

Dengan analisa seperti di atas, ditambah dengan fakta titik-titik api ini ada di berbagai belahan daerah di Indonesia, maka sudah seharusnya pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan segenap elemen masyarakat harus serius berurun rembuk untuk mencari solusi permanen. Ada beberapa hal yang bisa dibicarakan. Pertama, solusi jangka pendek, yaitu menuntut aparat penegak hukum untuk segera menangkap dan menindak tegas pelaku pembakaran lahan. Kedua, solusi jangka panjang, yaitu terkait dengan penerbitan aturan pembukaan lahan, pembuatan basis data area yang rutin mengalami kebakaran, rekayasa pengolahan lahan gambut (karena ada juga beberapa kebakaran yang sifatnya alamiah), serta sosialisasi ke masyarakat areal lahan kebakaran, mengenai pentingnya berhati-hati dalam menggunakan lahan. Solusi ini kemudian harus melibatkan setiap lapisan masyarakat: mulai dari tokoh agama, budayawan, akademisi, LSM, dan terutama sekali anak muda, yang kini begitu cinta dan concern pada perkembangan negaranya.

Berikutnya yang juga penting adalah membawa persoalan bencana kabut asap ini ke dalam agenda politik praktis. Berhubung momen pilkada serentak sudah di depan mata, maka sudah seharusnya isu ini dijadikan sebagai salah variabel untuk menilai kelayakan seorang calon kepala daerah. Ia harus menjadi salah satu pertanyaan utama yang dibahas panjang lebar dalam perdebatan calon. Sudah seharusnya masyarakat di daerah bencana kabut asap tidak memilih calon kepala daerah yang tidak memiliki solusi bagus untuk persoalan ini.

Kini masyarakat di daerah bencana kabut asap di Riau dan Jambi sudah bergerak. Di Jambi, sejumlah elemen jurnalis, seniman, LSM, dan akademisi, membuat gerakan protes  #jambiberasap. Mereka terus mengkritik kinerja pemerintah terkait hal ini melalui karya seni dan demonstrasi. Jika saja solusi permanen tidak segera dirumuskan, maka masyarakat akan semakin skpetis. Ini akan menjadi (satu lagi) batu sandungan besar bagi status quo, di samping persoalan pelemahan ekonomi yang sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelumnya.

Ferdiansyah Rivai
Staf pengajar di FISIP Universitas Sriwijaya, turut serta dalam gerakan #jambiberasap

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA