Dua kekuatan ini senantiasa menjadi spirit berjuang para kader dalam persyarikatan. Dari sisi aktivisme, Muhammadiyah membakukannya dalam sebuah tata aturan organisasi (AD/ART) yang melandasi terbentuknya sebuah Ranting atau Cabang Muhammadiyah baru. Cara ini ditempuh untuk mengantisipasi para kader yang mendirikan level pimpinan baru tanpa diimbangi dengan sebuah amal shaleh yang nyata. Karenanya, amalan-amalah sosial, baik itu sekolah (Mulai TK, SLB hingga Perguruan Tinggi), Rumah Sakit (mulai Rumah Bersalin hingga Rumah Sakit elit), Panti Asuhan (mulai Bayi Sehat hingga Panti Jompo), terlebih Mesjid dan yang lainnya, adalah suatu keharusan bagi Muhammadiyah. Jadi bisa dipastikan tidak ada Cabang Muhammadiyah di manapun di tanah air ini yang tidak memiliki amal sosial.
Selain beragam amalan di atas, Muhammadiyah juga senantiasa melakukan berbagai pembaharuan pemikiran (tajdid) guna memberikan pencerahan kepada ummat tentang berbagai kandungan al-Quran maupun al-Hadits untuk bisa dijadikan panduan hidup sepanjang zaman. Beberapa waktu ke belakang muncul wacana kritis di kalangan internal yang menilai sisi intelektualisme di Muahmmadiyah
mandeg. Muncul wacana untuk sejenak rehat melakukan ekspansi amal sosial sebagai cara untuk mengembalikan konsentrasi kader terhadap gerakan
tajdid yang terlupakan. Penguatan intelektulitas kader secara internal penting dilakukan mengingat Muhammadiyah adalah organisasi kader yang harus sangat memperhatikan kualitasnya.
Stagnasi pemikiran ini tidak selayaknya terjadi pada Muhammadiyah yang telah lama menyatakan diri atau dicap orang lain sebagai gerakan
tajdid. Karenanya, guna menyegarkan kembali pemikiran tersebut, perlu konsentrasi khusus dan perhatian dari semua kalangan. Langkah ini tepat diambil, mengingat perkembangan zaman yang semakin kompleks dengan persoalan mulai yang kecil hingga yang sangat besar, perlu segera di jawab oleh Muhammadiyah.
Pada masyarakat global, orang-orang yang perlu dibela adalah mereka yang secara langsung maupun tidak langsung sudah menjadi bagian dari korban globalisasi. Paradigma kapitalisme pada masyarakat global telah jelas-jelas melahirkan catatan panjang berupa masyarakat yang semakin miskin dan termarjinalkan. Berkolusi dengan kekuasaan, kekuatan kapitalis semakin sistematis dalam ‘mematikan’ berbagai potensi masyarakat bawah yang tidak memiliki modal apa-apa. Masyarakat semakin tersiksa dengan tantangan kaum kapitalis untuk bersaing dengan kekuatan yang sangat besar. Alih-alih masyarakat bawah semakin tak berdaya dengan akses yang makin minim. Dan kini, kondisi masyarakat miskin di negara kita semakin masif, bukan hanya di pedesaan tetapi juga di berbagai kota.
Kini komunitas miskin kemudian menciptakan semacam lapangan kerja baru, namun bagi pemerintah dianggap sebagai persoalan. Di pedesaan, para petani semakin miskin ketika berbagai kebijakan tidak menunjukan keberpihakan kepadanya. Dengan harga pupuk yang tinggi sedangkan harga jual gabah sangat rendah, baginya tidak lain sebagai bentuk pemiskinan sistemik yang terencana. Bagitupun dengan para petani lainnya dengan jenis tanaman berbeda. Pada sisi lain, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan dengan melakukan inpor beras, gula dan kebutuhan lainnya dalam jumlah sangat besar. Ironisme ini dilakukan disaat masyarakat sedang membutuhkan pasar pada musim panen. Mereka tidak bisa apa-apa kecuali mengurut dada, dan hanya berharap kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan kebijakan demi kesejahteraan hidup diri dan keluarganya.
Kemiskinam masif akibat dunia kapitalisme berakibat kepada tindakan-tindakan negatif. Rajia para aparat penertiab terhadap para Pekerja Seks Komersial (PSK) misalnya, selalu berbuntut kepada alasan kemiskinan. Begitupun dengan anak jalanan dan pengemis yang mewarnai hampir di ruas jalan. Jelas mereka adalah korban kapitalisme. Pembangunan Mall-mall di berbagai sudut kota menyebabkan pedagang kecil semakin terpinggirkan, sehingga mereka kehilangan tempat jualan karena penggusuran dengan rayuan akan diberikan lahan jualan setelah mall itu dibangun. Apa yang terjadi, setelah mall dibangun, harga sangat tinggi dan pedagang hanya menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL). Ketika menjadi PKL, mereka kembali dihantui berbagai ancaman akan digusur oleh Pemda setempat. Begitulah nasib mereka hingga kehabisan cara untuk mencari sesuap nasi pun. Sedangkan pada tingkat yang ekstrim, kemiskinan terkadang semakin menambah jumlah pelaku kejahatan.
Zaman global, selain telah memiskinkan masyarakat dari sisi finansial, juga telah merugikan masyarakat secara budaya. Kini budaya lokal semakin terkikis ditelan†budaya global yang mengedepankan hedonisme dan glamorisme. Budaya global ini bebas nilai, karenanya bersifat destruktif. Kompetisi pada zaman global sangat ditentukan oleh tingkat kemegahan dunia dan materi. Di sini muncul penilaian, meskipun kemajuan itu pada dasarnya netral begitupun dengan globalisasi, maka yang kuasa pada akhirnya adalah dominasi itu sendiri.
Melalui media massa, galobalisasi juga telah memberika pelajara tentang pergaulan dan gaya hidup. Pergaulan kelompok menengah, kelompok ABG gedongan, kelompok eksekutif, kelompok anak-anak muda sukses, kelompok anak orang kaya, dan masih seribu satu contoh kelompok yang dibangun atas dasar gengsi. Biasanya kelompok-kelompok ini mempunyai tata aturan tersendiri dalam mendefinisikan keperluan sehari-hari. Ke mana harus menonton, ke mana harus berjalan-jalan, ke mana harus makan, kafe mana yang dianggap kelasnya untuk kongkow-kongkow, dan lain sebagainya. Itu semua tidak lepas dari pengaruh gaya global, yang sesungguhnya tidak Islami.
Segudang persoalan bangsa memerlukan partisipasi seluruh elemen bangsa. Muhammadiyah sebagai organisasi modern dengan gerakan tajdidnya, juga memiliki tugas untuk mencurahkan segala kekuatan yang ada untuk kepentingan-kepentingan ummat dan kebangsaan secara makro. Muhammadiyah tidak lagi terjebak kepada rutinitas internal yang kurang mencerdaskan dan tidak mampu menjawab persoalan global. Dengan potensi yang ada, Muhammadiyah dapat memainkan peran yang lebih besar, misalnya dalam menciptakan good governance di negeri ini. Organisasi Kemasyarakatan yang besar dan modern seperti Muhammadiyah, tidak sepatutnya terjebak kepada agenda-agenda rutin internal konvensional, tetapi juga lebih berperan dalam berbagai urusan publik. Artinya kita berharap dengan peran Muhammadiyah yang maksimal, bangsa yang besar ini dapat terhindar dari berbagai jebakan global yang telah merugikan banyak pihak.
[***]
Roni Tabroni, dosen Universitas Sangga Buana YPKP dan UIN SGD Bandung, juga Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
BERITA TERKAIT: