Pertama, kita menghadapi problem implementasi. Secara teknis pembangunan infrastruktur menghadapi masalah pembebasan lahan yang hingga kini belum ada terobosan.
Kedua, kalau pun dapat disegerakan, sebagian besar belanja modal belum bisa kita sediakan sendiri, artinya akan berisiko besar terhadap ruang fiskal. Ini persetujuan dari sebagian besar analis pasar.
Sementara meski tidak secara keseluruhan, sekarang kita butuh "
quick win". Dibutuhkan terobosan, semisal berkaitan dengan pengadaan lahan pembangunan. Saya mendengar justru pemerintah akan menyerahkan kepada pihak ke 3 (swasta) untuk pengelolaannya. Bila benar terjadi, konflik berkelanjutan dan jauh dari solusi ditakutkan akan semakin mengemuka dan sering. Presiden Jokowi sebaiknya segera mendengar dan mendorong agenda ini agar dibicarakan pada semacam Musyawarah Petani Nasional (
Peasant Summit). Dari mereka solusi juga bisa didengar, mengingat kepada mereka manfaat pembangunan ditujukan dan kepada mereka sebagian besar pemilik lahan.
Salah satunya adalah ide tentang mendorong asas manfaat dibanding asas kepemilikan. Tentu akan sulit bila lahan lahan tersebut mesti diambil alih, namun bila menggunakan skema sewa misalnya tentu jauh lebih mudah. Pemilik lahan bisa menerima biaya sewa sekaligus dividen dari setiap investasi. Tinggal mereka didorong agar mengorganisir diri dalam koperasi yang nantinya bisa bekerja layaknya BUMDesa.
Langkah ini selain mampu menjadi solusi bagi percepatan implementasi pembangunan infrastruktur, juga mampu menjadi strategi mandiri dari program perlindungan sosial. Ada pendapatan petani dari pembangunan, aset tidak hilang, dan masih bisa bekerja di sektor pertanian dengan langkah-langkah koperasinya.
Saya menduga bila pemerintah gagal mengelola isu ini, dan berkonsolidasi dengan isu kenaikan harga, juga problem struktural lainnya akan berakibat serius pada aspek psikologi politik. Market tidak suka dengan bersatunya mahasiswa, petani dan buruh, berbeda dengan sebagian besar anggota parlemen.
[***]Wisnu Agung Prasetya
Penulis adalah pemerhati pangan, tinggal di Jakarta.