KPA sangat menyayangkan atas keberatan perusahaan tambang mengelola bijih mineral di dalam negeri. Hal tersebut adalah cerminan ketidakmampuan dan ketiadaan kemauan yang kuat bagi pengusaha tambang untuk memulai suatu era baru industri tambang ke arah pengembangan pengelolaan bijih mineral di dalam negeri. Kami juga kecewa dengan ketegasan pemerintah yang goyah akibat tekanan pengusaha tambang untuk merevisi UU Minerba dan PP No 23/2011. Ketegasan pemerintah juga akan diuji dari peraturan turunan yang mengatur berapa persen kemurnian yang diwajibkan untuk pengolahan bijih mineral dalam negeri. Pemerintah seakan tunduk akan tekanan pengusaha atas larangan ekspor dan kewajiban melakukan hilirisasi.
KPA menilai bahwa ketidakmampuan pengusaha dan ketiadaaan tekad menjalankan PP No 23 Tahun 2010 adalah bukti pengusaha tambang hanya mau sekedar mengeruk dan mengekspor bahan mentah tanpa berkeinginan meningkatkan nilai tambah bijih mineral yang dalam prosesnya akan memperluas lapangan kerja dan mendukung industri nasional dalam negeri.
Dalam PP No. 23 Tahun 2010 pasal 112 angka 4 huruf C disebutkan bahwa perusahaan tambang melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan kata lain, mereka diminta membuat smelter sebelum 12 Januari 2014.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang di penghujung 2013 bahwa 45% wilayah Indonesia telah dikavling untuk bisnis pertambangan dan ada lebih dari 11.000 izin di atasnya. Bahkan, Selama 2013 pertambangan menjadi ruang lonflik agraria struktural yang besarnya mencapai 38 konflik agraria di areal seluas 197.365,9 Ha. Sektor tambang telah terbukti merampas ruang hidup rakyat dengan praktek eksploitasi bahan mentah dan menjualnya dengan harga murah. Lebih lagi kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan merampas kesempatan rakyat sekitar pertambangan dapat memetik manfaat pasca penambangan.
Keengganan para pengusaha tambang harus disikapi oleh serikat buruh pertambangan sebagai suatu kesempatan kesempatan pengambil-alihan perusahaan tambang oleh pekerja.buruh tambang serta masyarakat sekitar tambang melalui koperasi-koperasi rakyat. Ancaman PHK bagi pekerja tambang karena alasan pembangunan pemurnian dan pengolahan smelter adalah sebuah propaganda yang menyesatkan. Perubahan tata kelola bijih mineral karena berjalannya PP No. 23 tahun 2010 dan penolakan para pengusaha tambang mematuhinya telah menandai era kesempatan ekonomi politik rakyat dalam mengelola sumber kekayaan alamnya sendiri.
Hal itu sejalan dengan pelaksanaan konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat 1, perekonomian disusun atas sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; ayat 3, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pemerintah harus membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pekerja dan masyarakat sekitar tambang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber kekayaan alam khususnya tambang. Hal ini sejalan dengan amanat UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, bahwa bumi, air dan kekayaan alam mempunyai fungsi yang amat penting membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Termaktub dalam pasal 2 UUPA 1960 ayat 1, Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Ayat 2, Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Ayat 3 Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Kekuatan dan jumlah Rakyat Indonesia yang melimpah adalah potensi nasional yang harus menjadi basis pijakan pengelolaan sumber kekayaan alam khususnya pertambangan.
[***]
Jakarta, 11 Januari 2013
Iwan Nurdin (081229111651)
Sekretaris Jenderal