Labelisasi Pelaku Kekerasan oleh Polisi

Kamis, 26 September 2013, 11:52 WIB
<i>Labelisasi Pelaku Kekerasan oleh Polisi</i>
Hendrata Yudha
MARI kita simak kepala berita di sebuah koran nasional terkemuka; "Penembak Briptu Ruslan Diduga Sindikat Lampung". Kepala berita yang diterbitkan Senin, 16 September 2013, lalu itu kemudian dilanjutkan dengan lead berikut; Kepala Kepolisian Resort Kota Depok, Komisaris Besar Achmad Kartiko, menduga penembak dan perampas sepeda motor Kawasaki Ninja milik Briptu Ruslan Kusuma, Jumat pekan lalu adalah sindikat pencuri kendaraan bermotor asal Lampung, Sumatera Selatan.

"Kelompok ini dikenal sadis dan tak segan melukui korbannya," kata Achmad.

Di salah satu tayangan berita televisi nasional, pada hari yang bersamaan juga membuat laporan rangkaian aksi kepolisian ketika memberantas preman Kawasan Mangga Ubi, Kapuk, Jakarta Barat. Dalam tayangan berita itu, terlihat beberapa polisi dengan pakaian sipil dilengkapi senjata laras panjang dan rompi anti peluru, mendatangi sejumlah bedeng atau rumah sementara dan menangkapi sejumlah orang yang diduga preman.

Terdengan suara-suara teriakan dari petugas polisi meminta orang-orang itu menyerah, dan menunduk ke lantai. Beberapa polisi terlihat menendang orang yang diduga preman, kemudian mengikat lengan mereka dengan tali plastik sekali pakai.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Jakarta Barat Ajun Komisarir Besar Henky Hariadi yang berwajah tampan, terlihat memimpin operasi. Narasi menyebutkan, ini operasi penangkapan sejumlah preman yang menyekap dan menyiksa seorang wanita pengasong dengan sadis selama tiga hari di kawasan Kedoya Elok, Jakarta Barat.

Transkip wawancara dengan perwira menengah polisi itu berbunyi, "Wanita itu korban penganiayaan yang boleh kita katakan sangat-sangat sadis. Kita sedang dalam motif sebenarnya seperti apa. Kita masih kembangkan yah, karena ini kebetulan dari kelompok Flores ya."

Dari kedua peristiwa yang hampir terjadi berurutan, menjadi trending topic di sejumlah media massa. Dalam konteks jurnalistik, kedua peristiwa kejahatan dan aksi kepolisian memiliki nilai berita yang tinggi.Sehingga tak salah, keduanya on air pada hampir setiap program berita di jam-jam prime time.

Ada beberapa hal yang saya perlu garis bawah dari kedua berita tersebut.
Pertama, sumber utama berita berasal dari perwira menengah berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP). Kedua, narasumber itu juga menggunakan kata yang hiperbolik untuk mendeskripsikan perilaku penjahat atau preman. Lihat mereka menggunakan kata "Kelompok ini dikenal sadis" atau "Wanita itu korban penganiayaan yang boleh kita katakan sangat-sangat sadis". Ketiga, kedua perwira polisi itu juga menyebutkan kelompok penjahat dengan labelisasi berdasarkan asal atau suku. "Pencuri bermotor asal Lampung" dan "preman kelompok Flores".

Penggunaan frasa-frasa itu, kalau diperhatikan semakin bertebaran dalam dalam media massa terutama perolehan berita kriminal dari kepolisian.
Komunikasi yang dilakukan polisi, dalam hal ini perwira menengah yang tentunya sangat terdidik dan memiliki kemampuan memberantas kejahatan tidak dilengkapi dengan pemahaman yang cukup tentang strategi komunikasi yang tepat. Sebagai polisi dengan kedudukan yang cukup tinggi, seharusnya sadar bahwa mereka adalah sumber informasi yang kerap diwawacara oleh jurnalis. Apapun yang disampaikan kepada jurnalis, akan direkam dan disampaikan kepada masyarakat secepat itu pula. Sehingga pemilihan kata, kalimat yang diucapkan pun harus dengan pilihan yang tepat, tidak asal bunyi, jelas dan tidak multi tafsir.

Pilihan menggunakan bahasan frasa sadis, yang utarakan mereka perlu didalami lagi. Perlu kehati-hatian, dengan bukti yang jelas dan konteks yang tepat. Apakah kedua perwira polisi sudah mengetahui benar perilaku penjahat atau preman yang mereka tangkap? Apakah tafsir kata Sadis yang mereka katakan,  pengertiannya sejalan dengan  Sadis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang berartitidak mengenal belas kasihan; kejam; buas; ganas; kasar?

Penggunan frasa dengan sifat hiperbolik itu, oleh mereka juga disambung dengan pernyataan lanjutan penjahat dan preman itu dengan prasangka negatif berdasarkan kelompok asal suku sindikat pencurian motor dari Lampung dan kelompok preman dari dari Flores.

Dengan bersandar pada defisi ini, logika linear dari komunikasi yang dibangun oleh polisi hanya berdasarkan prasangka saja.Padahal, prasangka merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas. Prasangka ini jelas berbahaya, bila terus dikembangkan oleh penegak hukum secara sadar dalam berkomunikasi.

Prasangka perilaku social sejumlah orangberdasarkan SARA,  bisa menimbulkan stigma yang bila terus menerus digunakan, akan dianggap sebagai kebenaran. Dengan pola strategi komunikasi satu arah, tanpa filter, Polisi mendominasi kebenaran dengan  logika linearnya akan berlanjut  bahwa setiap sindikat pencurian motor itu “pasti” berasal dari Lampung. Atau jika pelaku premanisme “pasti” berasal dari Flores.

Bukan tidak mungkin, jika pola komunikasi ini diteruskan oleh polisi, maka ekskalasi sosial akan muncul dan menjadi motivator munculnya ledakan sosial atau konflik horizontal. Sebab, tak semua urusan kriminal bisa diselesaikan oleh hukum positif. Perilaku main hakim sendiri yang masih lekat di kehidupan masyarakat kita, bukan mustahil menjadi pembenaran oleh sejumlah orang untuk menyerang, menyikat dan men-Sukabumi-kan kelompok etnis tertentu yang terlanjur diberi stigma negative sebagai preman dan pelaku pencurian sepeda motor.

Peran Jurnalis

Dalam era banjir informasi sekarang ini, jurnalis Indonesia boleh dikatakan keteteran dengan persaingan antar media massa dan antar platform. Jurnalis dituntut melaporkan peristiwa di depan matanya secara langsung ke ruang redaksi atau newsroom. Tak ada lagi istilah menunda berita untuk melakuan konfirmasi atau check and recheck, sampai siang, untuk diturunkan pada program berita sore hari.  

Kelompok media massa besar, dengan yang berbagai jenis media elektronik, cetak dan online (multi  platform) menuntut  semua jurnalisnya agar bisa konvergen. Jurnalis televisi tak lagi melulu hanya memproduksi berita untuk televise, tapi juga wajib membagi dan menulis untuk platform online secara realtime.  

Informasi penggerebekan polisi kepada kelompok preman itu langsung dilaporkan ke newsroom hanya beberapa saat setelah AKBP Henky bicara. Newsroom mengolah informasi itu dan merasakan ada sesuatu nilai berita yang cukup besar, apalagi bila reporter di lapangan melaporkan di telepon dengan bumbu visual edan, “Gambar TKP abis bos.” Istilah ini bagi jurnalis televise adalah visual yang diambil cameramen atau kontributor langsung dari lokasi kejadian, ada adegan tembak menembak, kejar-kejaran aparat dengan penjahat, Polisi mendobrak pintu, sekumpulan lelaki dipukuli. Kemudian muncul perwira Polisi memberikan keterangan sepihak.

Dengan gambar yang punya efek dramatis tadi, para produser sudah terbayang akan memperoleh atensi dari penonton dan meningkatkan share dan rating yang baik. Sering terjadi, proses editing yang dilakukan para produser, tidak lagi focus kepada konten berita namun lebih mementingkan durasi berita yang akan on air. Belum lagi jam on air yang tak bisa ditawar. Kekhilafan ini, yang menyebabkan proses seleksi gambar dan kutipan narasumbernya, terabaikan.

Jurnalis sebaiknya, juga  tidak menelan mentah-mentah pernyataan narasumbernya sebelum melakukan check and recheck atau konfirmasi mengenai frasa-frasa yang digunakan perwira Polisi mengenai perilaku penjahat yang ditangkap.

Dari uraian pendekatan itu, dimanakah peran jurnalis untuk mereduksi informasi sepihak yang sudah terlanjur disampaikan narasumber?

Saya cenderung kembali ke “kitab suci” jurnalis di Indonesia, yaitu UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Penerapan kedua aturan hukum dan etika yang disusun para jurnalis senior itu, bisa menjadi kompas ideal yang patut dipertahankan.

UU Pokok Pers No, 40 tahun 1999, terutama Bab IV mengatur tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antar golongan. Pasal 6 berbunyi: Lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/atau kehidupan sosial ekonomi. Disambung pada Pasal 7, Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan program yang merendahkan, mempertentangkan dan/atau melecehkan suku, agama, ras, dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/atau kehidupan sosial ekonomi.

Dalam Kode Etik Jurnalistik, juga mencantumkan penyajian berita yang baik. Seperti terumus dalam Pasal Pasal 8, yang menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit.

Seharusnya, ada proses pengecekan oleh produser atau redaktur di newsroom agar berita yang disampaikan kepada khalayak, sudah memenuhi untuk kepatutan, pengecekan, dan kelayakan fakta-fakta yang muncul. Dalam kasus di media cetak, prosedur seleksi malah lebih berjenjang dan ada “waktu” yang cukup untuk mengecek semua frasa kata yang digunakan sesuai dengan kode etik, tidak berprasangka dan stigma kelompok tertentu, kemudian menurunkan dalam korannya.

Narasi media massabiar bagaimanapun akan menciptakan makna, julukan dan menciptakan definisi realitas mengenai peristiwa yang terjadi.

Hendrata Yudha
Wakil Ketua Bidang Kompetensi IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA