Bedanya adalah, kepada siapa kita menyebutkan kata 'sega' itu (karena penduduk Jawa mempunyai kasta bahasa). Kata
sega ditujukan kepada orang yang dianggap sederajat harkat manusiawinya dengan yang berbicara. Tetapi bila menyebut
sekul, kata ini diperuntukkan bagi orang yang dianggap lebih tinggi harkat manusiawinya ataupun yang kita hormati.
Di dunia ini bangsa yang paling besar jumlahnya ada di China. Dan negara pemula yang menghasilkan kain sutra pun dari China. Oleh karena itulah Nabi Muhammad tidak segan- segan untuk mengatakan, tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China atau
Utlubuli’lmawalau bi shin.
Di Amerika, orang kulit putih menyebut mereka dengan sebutan
Chinese, lokasi tempat tinggal mereka disebut
China Town, di sudut-sudut negara manapun di dunia in imereka disebutnya juga sama, China. Lalu mengapa di Indonesia orang China harus ada sebutan lain?
Tionghoa itu bila diartikan dalam bahasa Indonesia pengertiannya adalah “bangsa yang di tengah†(
tiong = tengah/atas/luhur/jaya, sedangkan
hoa = bangsa).
Mengapa ada sebutan ini?
Karena waktu orang-orang Hoakiao (= bangsa perantau; padahal mereka meninggalkan tanah airnya untuk menyingkir dari kemelut dalam negerinya sendiri, bukan sengaja merantau) migran ke Pulau Jawa (waktu itu belum ada sebutan Indonesia).
Di Pulau Jawa sudah ada terlebih dulu orang-orang Belanda dari VOC ( Kamar Dagangnya Belanda untuk Timur Jauh), dan karena mereka adalah bangsa "yang mencari aman" maka mereka menempatkan posisinya "di tengah"Â antara si penjajah dengan yang dijajah.
Bangsa yang "di tengah" ini, bagi bangsa penjajah (Belanda) nilai manusiawinya tentu saja di bawah mereka.Tetapi bagi bangsa yang "di tengah" , bangsa yang dijajah tentulah bangsa yang jadi alas kaki (siapanya?).
Jadi bila di era Reformasi ini ada yang menghidupkan lagi istilah Tionghoa, maka orang ini jelas keblinger, karena menghidupkan lagi "kasta" bangsa yang tidak dikenal oleh bangsa manapun di dunia, dan lagi kita sudah menjadi bangsa yang merdeka.
Anda tahu nama tanaman petai cina? Pernah dengar Pecinan atau Bubur Pacar Cina atau Dodol Cina atau Bong (kuburan) atau Rambut Kuncir Cina? Dari dulu sampai sekarang sebutannya tetap, enggak ada kata Tionghoanya kan? (mana ada petai tionghoa?).
Jelas kata Tionghoa ini sama halnya dengan kata
sekul yaitu sebutan nasi untuk orang yang lebih dihormati.
Apa namanya
enggak keblinger di masa Reformasi ini, dan dalam ajaran agama pun tidak ada bangsa manusia yang lebih tinggi derajatnya, kecuali perbuatannya, kita malah menghidupkan lagi kasta bangsa?
Hanya orang yang tidak paham makna kata Tionghoa (tapi punya 'nama' atau jabatan dan diberikan kesempatan berbicara) yang mau menghidupkan lagi istilah kata ini.
Seorang nabi pun menyebutnya dengan kata China. Jadi mengapa bangsa Indonesia yang konon umat Islamnya terbesar di dunia mempunyai istilah lain untuk menyebut China?
Jadi Anda termasuk yang paham makna kata atau cuma
ikutan tapi
keblinger? Untuk itulah kami kenalkan istilah netral tapi mengena, yaitu “Hoa In†atau Bangsa Indonesia.
Â
HDA. Karim Bakrie Ketua Forum Komunikasi Sumpah Bangsa Indonesia Â