Syarat kondisionalitas dalam pasal 7 ayat 6 A yang menyebutkan bahwa "Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian crude oil price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dalam waktu 6 bulan dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P tahun 2012, pemerintah berwenang melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung" secara materil menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hukum.
Pasal 7 ayat 6 A ini juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 atas
judicial review pasal 28 ayat (2) UU No. 22 tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam putusan MK tersebut "Harga Minyak dan harga Gas Bumi yang diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha" bertentangan dengan mandat konstitusi pasal 33 karena mendorong liberalisasi pengelolaan minyak dan gas bumi.
Sikap sejumlah partai politik yang mengambangkan opsi kenaikan BBM melalui kondisionalitas sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 6 A selain sangat berkharakter politik pencitraan juga memiliki tiga kelemahan konstitusionalitas.
Pertama, pasal ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah untuk menentukan harga eceran BBM bersubsidi. Hal ini bertentangan dengan semangat pasal 20 UUD 1945 yang memberikan kekuasaan kepada DPR sebagai pembentuk Undang-Undang. Apalagi hal ini terkait dengan hajat hidup orang banyak. Dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Pasal 7 ayat 6 A revisi UU No. 22/ 2011 jelas mencabut fungsi legislasi dan anggaran yang dimiliki oleh DPR dalam menentukan besaran anggaran pendapatan dan belanja negara. Dengan demikian pasal ini berpotensi mengandung unsur inkonstitusionalitas.
Inkonstitusionalitas kedua, pasal 7 ayat 6 A terjadi karena hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 atas judicial review UU No. 22/2001. Putusan MK yang mengabulkan larangan penentuan harga minyak dan gas bumi berdasarkan mekanisme pasar masih berlaku hingga kini, sehingga kondisionalitas pasal 7 ayat 6 A tersebut bertentangan dengan putusan MK tersebut.
Masih terkait dengan hal ini, inkonstitusionalitas ketiga juga terjadi karena pasal 7 ayat 6 A bertentangan dengan semangat pasal 33 ayat (1), (3) dan (4) UUD 1945, karena berpotensi menyebabkan terlanggarnya semangat azas ekonomi kekeluargaan, prinsip penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan prinsip keadilan dan kebersamaan. Selain itu, pasal 7 ayat 6 A juga berpotensi menyebabkan pengabaian hak setiap orang atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Selain bertentangan dengan berbagai macam pasal UUD 1945, pasal 7 ayat 6 A juga mengandung
contradictory in substance dengan pasal 7 ayat 6 yang menyebutkan bahwa harga eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Kedua ayat ini yaitu 6 dan 6 A jelas jelas memberikan ketidakpastian hukum kepada rakyat.
Secara kesuluruhan revisi UU No. 22/2011 tentang APBN Perubahan jelas mengandung sebuah ketidakpastian yang sangat besar. Hal ini karena semua perencanaan pembangunan dan pelayanan kepada masayarakat harus menunggu bergerak naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.
Hal ini tentu akan menyebabkan kesulitan yang sangat besar dalam persiapan implementasi APBNP 2011, terutama karena secara teknis lemahnya persiapan bagi program-program kompensasi pengalihan subsidi BBM. Bukan tidak mungking program-program kompensasi ini akan dilaksanakan dalam waktu yang terburu-buru, sehingga menimbulkan persoalan korupsi baru dan ketidakefektifan penyerapan anggaran. Jika ini terjadi maka kembali rakyat dirugikan dengan kenaikan harga BBM.
Rangkaian pelanggaran justru diciptakan oleh para anggota dewan sendiri. Sungguh menjadi tragedi konstitusi yang perlahan membawa negara kepada ambang kehancuran. Sungguh memilukan, pada saat rakyat harus dibantu bangkit dari keterpurukan hidup dan negara harus dipulihkan fondasi ekonominya, yang terjadi justru sebaliknya; penghancuran konstitusi. Kalau sudah begini rakyat tidak dapat disalahkan jika akan bergerak mencari solusinya sendiri.
Penulis adalah Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia, dan anggota Komisi VII dari Fraksi PDI Perjuangan.
BERITA TERKAIT: