Pemerintah Harus Memperjuangkan Stabilitas Harga Pangan Global

Kamis, 23 Juni 2011, 22:01 WIB
Pemerintah Harus Memperjuangkan Stabilitas Harga Pangan Global
sutrisno iwantono/ist
TANGGAL 22 Juni 2011 dimulai pertemuan tingkat Menteri dari negara-negara yang tergabung dalam kelompok G 20 di Paris. Topik utama yang dibahas adalah volatilitas harga pangan yang sangat fluktuatif dengan pola tidak karuan.

Volatilitas harga pangan menjadi persoalan serius saat ini karena dianggap sebagi salah satu faktor yang menyebabkan kerawanan pangan global. Fluktuasi harga beras misalnya bisa mencapai 100 persen dalam satu tahun, hal yang sama terjadi pada komoditi lain seperti jagung, gandum, daging dan komoditi pangan lainnya. Fluktuasi yang tidak karuan ini sangat merugikan baik bagi petani, produsen maupun konsumen.

Volatilitas harga menimbulkan ketidakpastian, ketidakpastian meningkatkan resiko, dan resiko akan sangat menurunkan motivasi berproduksi. Dampaknya tentu saja sangat mengganggu ketahanan pangan tiap-tiap negara. Tak hanya itu, juga menimbulkan kerawanan pangan secara global. Ditambah lagi dengan persoalan perubahan iklim yang sangat mengganggu sistem produksi.

Bagi Indonesia volatilitas harga selain sangat berpengaruh terhadap produksi dan ketahanan pangan juga berdampak pada kehidupan sosial dan politik. Kita meminta agar pemerintah RI dalam forum G20 ini, memperjuangkan dengan serius bahwa kepentingan petani dan kepentingan nasional dalam Pertemuan Kelompok G-20. Hendaknya pemerintah dapat meyakinkan pimpinan negara dari negara lain khususnya yang tergabung dalam kelompok G-20 bahwa sektor pertanian memiliki ciri yang berbeda dari sektor industri, karena itu ketentuan perdagangan bebas (free trade) yang biasa berlaku di sektor industri tidak secara otomatis dapat diberlakukan di sektor pertanian. Hendaknya negara sedang berkembang seperti Indonesia diberikan kebebasan secara mandiri urusan domestik tanpa terlalu diikuat sebagaimana ketentuan dalam WTO.

Selain itu, beberapa isu penting lain yang harusnya dikemukakan sehubungan dengan fluktuasi harga pangan yang tajam antara lain meliputi: Pertama, harus dipahami bahwa perdagangan pangan dunia sangatlah terkonsentrasi ditangan sejumlah kecil negara. Untuk beras dikuasai oleh  RRC, India, Amerika, Jepang dan sejumlah kecil oleh Thailand dan Vietnam. Demikian juga untuk gandum. Sekitar 75 persen ekspor gandum dunia ditangani  5 negara yaitu Amerika Serikat, Canada, Australia, Rusia dan Perancis. Karena itu sudah pasti negara negara inilah yang menentukan prilaku pasar komoditi pangan di dunia. Sementara yang menjadi konsumen adalah negara-negara lain di luar itu yang jumlah sangat banyak, dan oleh karena itu posisi tawar mereka sangat lemah.

Lebih jauh dari itu perdagangan pangan dunia ditangan segelintir Perusahaan Multinasional yang sangat oligopolis. Bahkan secara terselubung mereka membentuk kartel untuk mengatur produksi, pemasaran dan harga. Lagi-lagi perusahaan ini ada di negara-negara besar tersebut.

Struktur pasar global komoditi pangan yang sangat distortif ini sungguh sungguh akan mendorong perilaku ekonomi dan bisnis yang tidak fair. Untuk itu kepada juru runding pemrintah kita minta agar ada proses koreksi terhadap kekuatan global negara dan perusahaan tersebut untuk berprilaku fair dan tidak menyalahgunakan posisi dominan mereka (abuse of dominant position) yang berdampak sangat negatif bagi petani kecil dan konsumen terutama di negara-negara sedang berkembang.

Kedua menyangkut tidak transparannya informasi mengenai produksi dan stok pangan dunia. Masing-masing negara enggan membuka secara sungguh berapa sebenarnya produksi dan persediaan pangan mereka, apalagi stock yang dikuasai perusahaan global. Sehingga menyebakan kesulitan untuk memprediksi keseimbangan supply dan demand yang menentukan tingkat harga pasar. Transparansi data haruslah dibahas oleh negara-negara penguasa produksi. Lain dari itu, perusahaan yang memegang stock pangan haruslah bersedia membuka data sehingga dapat dilakukan perencanaan dan proses stabilisasi harga.

Ketiga, bahwa tingkat produksi dan konsumsi kini tidak secara otomatis menentukan perkembangan harga pasar. Pangan sudah masuk dalam pasar komoditi dan perdagangan berjangka. Dimana para investor, fund manager dan spekulan kini menjadi penentu utama, padahal mereka itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanian. Bila mereka kelebihan dana dan ingin masuk pasar, maka melonjaklah harga. Ketika harga sudah dirasa cukup tinggi dan mereka perlu profit taking maka jatuhlah harga. Dengan demikian naik turunnya harga sama sekali tidak ada hubungannya dengan petani atau konsumen, tetapi murni ditentukan oleh fund manager. Ini juga merupakan isu yang sangat kritis untuk dibahas yakni bagaimana membatasi pengaruh para investor, fund manager dan spekulan di pasar komoditi.

Keempat tentang praktek yang sering dilakukan berbagai negera untuk mengurangi ketersediaan pangan di pasar dunia dengan cara melarang, membatasi, dan menghambat ekspor. Ini terjadi misalnya beberapa waktu lalu saat terjadi krisis, sejumlah negara temasuk China, Thailand menghentikan ekspor beras. Hal ini tentu saja memperparah situasi pasar komoditi pangan. Sejumlah negara lain yang tidak mampu memproduksi pangan sendiri menjadi korban, bahkan memicu kegoncangan politik sebagaimana terjadi di negara-negara Arab. Karena itu dalam Pertemuan G-20 ini haruslah ada kesepakatan agar masing-masing negara anggota tidak memberlakukan kebijakan pembatasan ekspor.

Kelima, untuk menghindari bencana kelaparan dunia yang kemungkin akan dialami oleh negara-negara terbelakang yang tidak memiliki ketahanan pangan, dan untuk tujuan kemanusiaan seyogyanya ada kesepakatan membentuk stok pangan global yang dicadangkan menghadapi terjadinya bencana kelaparan.

Minggu lalu (16-18 Juni 2011) saya menghadiri pertemuan ahli dan masyarakat pertanian di Paris untuk membicarakan masalah kelaparan, malnutrisi, dan ketahanan pangan global. Kita meminta agar tim negosiator pemerintah nantinya sepulang dari Paris dapat membawa oleh-oleh yang bermanfaat bagi petani, khususnya  program kongkrit agar petani tidak selalu menjadi korban kekacauan pasar global.

Dr. Sutrisno Iwantono
Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI),
President Advocacy Center for Indonesian Farmers.
[email protected]



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA