Pasalnya, selama Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) berkuasa, Polri kerap menjadi alat kekuasaan dari istana.
Hal itu disampaikan ekonom senior INDEF, Didik J Rachbini dalam acara diskusi publik Continuum INDEF bertajuk "Polemik Putusan MK: Polisi Aktif Dilarang Rangkap Jabatan Sipil", Minggu, 23 November 2025.
"Ini penting sekali, dan yang diteliti oleh teman-teman sekarang adalah rangkap jabatan Polri. Zaman Pak Jokowi, ini kekuasaannya memanfaatkan polisi. Polisi dipakai sebagai instrumen politik untuk dirinya dan untuk kekuasaannya," kata Didik.
Lanjut dia, karena tuntutan masyarakat, Presiden Prabowo akhirnya melakukan reformasi Polri.
"Saya kira ini bagus, dan Polri sendiri sudah ikut, nurut pada putusan MK, sudah nurut ya. Sebaiknya polisi, DPR itu jangan melakukan proses denial. Mau saya periksa dulu apakah hakimnya begitu, atau hakimnya nanti setelah dibelakang ditembak lewat ijazah palsu dan lain-lain ya," tuturnya.
Didik pun menyoroti soal hasil riset yang dilakukan Continuum INDEF, yakni 83,96 persen dari 11.636 percakapan di X atau Twitter dan YouTube sejak 13-17 November 2025 bernada positif terhadap putusan MK soal larangan anggota Polri aktif merangkap jabatan sipil.
"Dulu waktu reformasi, Polisi dilempari batu, tentara dielu-elukan. Nah sekarang tentara mulai masuk ke lapangan, itu saya kira harus berhati-hati. Saya kira waktu reformasi, pemisahan sipil-militer itu sudah tegas,” imbuh dia.
“Sebenarnya kalau polisi mau masuk di jabatan publik, ya sudah pensiun, sudah selesai. Ya seperti dosen di perguruan tinggi ya pensiun kalau mau masuk politik. Jadi hasilnya bahwa masyarakat mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi ini," pungkas Didik.
BERITA TERKAIT: