Salah satunya datang dari penyintas tragedi Tanjung Priok 1984, Amanatun Najariyah.
Menurut dia, penolakan tersebut didasari bukan karena sekadar luka di masa lalu, melainkan persoalan ketidakadilan yang masih dirasakan hingga kini.
"Saya tidak rela kalau Soeharto itu dijadikan pahlawan, karena saya sendiri sampai sekarang tidak mendapatkan pengadilan yang hak untuk diri saya," ujar Amanatun kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 5 November 2025.
Ia merupakan saksi sekaligus korban kekerasan aparat militer dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok. Saat itu, dirinya ditangkap hanya karena membela kakaknya yang ditahan tanpa adanya surat perintah.
"Kemudian dijebloskan di kantor polisi, diinterogasi sampai pagi. Saya melihat penyiksaan kepada kakak saya dan teman-teman yang ada," ungkapnya.
Saat penahanan tersebut, ia juga menceritakan perlakuan tidak manusiawi di mana para aparat memberikan makanan dengan cara dilempar.
Setelah itu dirinya dibawa ke Komando Distrik Militer (Kodim). Bahkan saat itu dirinya sempat ditelanjangi.
"Pas di Kodim, saya juga sempat ditelanjanfi. Saya melawan, melindungi diri. Tadinya mau ditelanjangi di hadapan teman laki-laki semuanya," katanya.
Amanatun yang saat peristiwa itu berusia 27 tahun menceritakan bagaimana banyak korban Tragedi Tanjung Priok lain dibunuh tanpa proses hukum.
"Di Priok itu (korban) dilindas pakai tank, bekasnya remuk sekali dan sudah jadi serpihan-serpihan," ujarnya.
Amanatun menilai bahwa memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menutup mata atas penderitaan korban dan keluarga mereka.
Baginya, pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan akan melukai hati para korban yang belum mendapatkan keadilan.
"Dengan kondisi seperti itu, pantaskah seorang pemimpin, seorang negarawan kemudian memperlakukan rakyatnya seperti itu? Terus dia punya kebaikan yang satu, terus dijadikan pahlawan, yapi semua perbuatannya jelek, apa bisa masuk akal tidak kalau dia itu seorang pahlawan?" pungkasnya.
BERITA TERKAIT: