Hal ini disampaikan dalam acara Executive Breakfast Meeting ke-4 yang diselenggarakan Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (IKA Fikom Unpad) di The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu 8 Oktober 2025.
"Bagi saya, tugas saya adalah harus royalti itu dinikmati oleh mereka (musisi)," kata Supratman.
Menurut Supratman, pengelolaan royalti musik sebelumnya tidak optimal, terutama untuk platform digital yang belum diatur dalam Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) sebelumnya.
"Dulu yang digital sama sekali tidak diatur di dalam Permenkum. Karena itu sekarang, termasuk yang digital dan berkaitan dengan industri, phonogram, saya sudah sampaikan itu akan semua tetap lewat Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)," ujarnya.
Namun, ia menyoroti kurangnya transparansi dalam pengelolaan royalti oleh LMK. Beberapa LMK tidak melaporkan data lengkap, seperti fotokopi KTP dan NPWP anggota yang berwenang, sehingga sulit menentukan siapa yang berhak atas royalti.
"(Namun) sampai saat ini, tidak ada yang menggugat. Saya boleh menduga, bukan menuduh, tapi menduga ada sesuatu yang tidak beres," tegasnya.
Untuk memastikan royalti sampai ke tangan pencipta, Supratman memperkenalkan kebijakan baru melalui Permenkum 27 Tahun 2025.
Salah satu poin utamanya adalah memangkas biaya operasional yang boleh dipungut oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan LMK dari maksimal 20 persen menjadi hanya 8 persen.
"Itu artinya, 12 persen harus kembali sebenarnya kepada pencipta," jelasnya.
Supratman menambahkan, kebijakan ini akan terus dievaluasi hingga transparansi dan digitalisasi dalam pengelolaan royalti oleh LMK dan LMKN berjalan optimal.
"Kalau kemudian nanti suatu saat kita sudah menganggap bahwa ada transparansi dan digitalisasi entah itu dari LMK maupun dari LMKN yang sudah bagus, mungkin akan kita kembalikan sesuai dengan yang baru," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: