Begitu pandangan Pengamat Kebijakan Publik, Muhammad Gumarang, mengomentari Peraturan Presiden (Perpres) 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan tata kelola hutan, termasuk penggunaan ilegal untuk perkebunan dan pertambangan.
“Terbitnya Perpres 5/2025 terkesan terburu-buru, tidak melakukan kajian secara mendalam khususnya yang berkaitan terhadap perkebunan kelapa sawit milik koperasi plasma,” kata Gumarang kepada wartawan, Rabu 1 Oktober 2025.
Sebagaimana diketahui, pemerintah membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang terdiri dari TNI, Kejaksaan, dan Polri.
Satgas ini ditugaskan melakukan penyitaan lahan perkebunan yang berstatus kawasan hutan dengan target mencapai 3 juta hektar. Lahan yang disita nantinya akan dikelola oleh PT Agrinas Palma Nusantara, BUMN yang berada di bawah Danantara.
Namun, dikatakan Gumarang, pelaksanaan kebijakan tersebut menimbulkan masalah ketika menyentuh lahan plasma milik masyarakat yang bermitra dengan perusahaan besar swasta (PBS).
Menurutnya, penyitaan lahan plasma bisa menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat karena mereka kehilangan mata pencaharian, sementara tidak dilibatkan dalam pengelolaan oleh Agrinas.
“Ditambah lagi koperasi plasma masyarakat yang lahannya disita tidak dilibatkan oleh Agrinas dalam mengelola kebun sawit tersebut sehingga masyarakat kehilangan usaha atau pencaharian,” katanya.
Ia mendorong pemerintah segera melakukan revisi terbatas terhadap Perpres 5/2025, khususnya yang menyangkut lahan plasma sawit.
Menurutnya, revisi dapat dilakukan melalui mekanisme pemutihan dengan mengubah status kawasan hutan menjadi lahan perkebunan, sehingga masyarakat tetap dapat mengelolanya dengan pendampingan dari Agrinas.
“Dengan disempurnakannya Perpres 5/2025 tersebut maka hakikat dari tujuan baik terhadap tata kelola perkebunan kelapa sawit ke depan akan lebih baik, baik secara sosial, ekonomi maupun hukum,” demikian Gumarang.
BERITA TERKAIT: