Narasumber yang hadir secara luring ialah dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad. Sementara narasumber daring adalah dosen senior di School of Population Health, Fakultas Kedokteran, UNSW Sydney, Anthony Paulo Sunjayaserta sejumlah diaspora lainnya. Diskusi dipandu Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007–2011, Chandra Marta Hamzah.
Anthony mengaku prihatin melihat kondisi Tanah Air. Ia menekankan pentingnya mengambil langkah-langkah cepat guna menjawab ketidakpuasan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri, terhadap kualitas pejabat pemerintah dalam menjalankan tugasnya mengurus negara.
Anthony dkk mendesak, antara lain, bentuk tim pencari fakta independen untuk menginvestigasi pelanggaran dan pelanggar hak asasi manusia yang terjadi di lapangan. Tindak tegas yang bersalah. Jauhi pendekatan militerisasi berikut intervensi yang terlalu dalam/jauh aparaturnya dalam menangani keamanan, apalagi sampai ke arah darurat sipil.
“Di atas itu semua, yang jauh lebih penting adalah, reaksinya jangan hanya bersifat reaktif, tapi harus substansial, menyentuh akar masalah,” kata Anthony dikutip Jumat 5 September 2025.
Kebanyakan diaspora menyampaikan frustasi karena momentum yang seharusnya bagus sekali diambil oleh pengurus negara untuk berbenah, tak kunjung diambil.
Di Canberra, Australia, muncul gerakan “Canberra Bergerak”. Juga di Jepang dan lain-lain. Keprihatinan tinggi ditujukan pada semakin tertutupnya ruang demokrasi. Demokrasi yang berjalan saat ini semata dari elite untuk elite.
“Masak rakyat harus ada yang mati terlebih dulu agar didengar? Maka, teruslah berisik agar didengar!” seru mahasiswi S3 Australian National University, Avina Nadhila.
Sementara Shofwan Al Banna Choiruzzad menjelaskan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam negeri tidak terlepas dari dinamika luar negeri. Saling mempengaruhi. Peristiwa domestik ditangkap oleh, dan mempengaruhi, dunia internasional.
“Pelemahan institusi menyebabkan disfungsi mekanisme demokrasi. Disfungsi mekanisme demokrasi membuat suara rakyat jadi tidak lagi relevan. Alhasil, setiap muncul kekecewaan atau ketidakpuasan rakyat, alih-alih tidak punya kecakapan menanggapi, eh, malah dijogetin,” kata Shofwan.
BERITA TERKAIT: