Karena bisa jadi pemerintah justru mengedepankan pendekatan simbolik tanpa membenahi akar persoalan ketenagakerjaan.
Pandangan itu yang disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Saburmusi) terhadap dua lembaga baru, yakni Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN).
Saburmusi pun menyampaikan sembilan kritik terkait pembentukan dua lembaga baru tersebut.
Pertama, sindrom Satgas sebagai pelarian politik, negara seolah kehilangan kepercayaan pada institusi formal, dan malah mengandalkan forum ad hoc tanpa wewenang kuat.
"Kedua redundansi dan tumpang tindih kelembagaan, DKBN tumpang tindih dengan lembaga tripartit yang sudah ada, membuat kebijakan buruh makin tidak efektif. Ketiga, tidak menyentuh akar krisis ketenagakerjaan, deregulasi pasca-Omnibus Law dan lemahnya pengawasan dianggap sebagai penyebab utama gelombang PHK," kata Kepala Departemen Kajian LBH DPP Konfederasi Sarbumusi, Brahma Aryana, dalam keterangan resmi yang diterima pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Keempat, pembentukan satgas hanya akan memperpanjang birokrasi, bukan solusi kehadiran dan justru memperumit jalur advokasi buruh dan mengaburkan tanggung jawab kelembagaan.
Kelima, negara seakan cuci tangan lewat forum ad hoc. Pemerintah mengalihkan beban perlindungan kepada lembaga sementara tanpa penguatan kelembagaan yang berkelanjutan.
Keenam, mengabaikan reformasi ketenagakerjaan dengan tidak ada langkah nyata untuk reformasi sistem pengupahan, jaminan sosial, dan hak-hak pekerja.
"Ketujuh, buruh tak dilibatkan, psikososial terabaikan. Aspek mental dan kesejahteraan psikologis buruh tak menjadi bagian dari agenda Satgas. Kedelapan, risiko jadi lembaga gagal tambahan, forum-forum serupa sebelumnya terbukti tidak efektif dan kehilangan legitimasi," papar Brahma.
Terakhir, pembentukan satgas justru akan jadi alat legitimasi politik elite. Sebab ada kekhawatiran satgas ini hanya akan dimanfaatkan untuk pencitraan menjelang agenda politik elektoral.
Oleh karena itu, LBH Sarbumusi mendesak pemerintah untuk tidak berlindung di balik simbol-simbol kebijakan yang kosong.
"Sebaliknya, negara harus hadir melalui penguatan hukum ketenagakerjaan, perlindungan jaminan sosial, dan penegakan pengawasan yang berpihak pada buruh. Buruh butuh keadilan, bukan simbol. Saat negara abai, buruh menjadi korban,” pungkas Brahma.
BERITA TERKAIT: