Hal ini disampaikannya saat membuka diskusi bertajuk “Prabowonomics dan Tantangan Terbesar di Era Perang Global” secara virtual, Jumat 20 Juni 2025
Menurut Syahganda, perang kini tidak hanya terjadi di Eropa, tetapi juga merambah ke Asia, seperti konflik India-Pakistan dan Israel-Iran.
Ia juga menyebut potensi ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan serta ketidakstabilan yang kerap terjadi di Afrika. Sementara itu, benua Amerika disebut sebagai satu-satunya kawasan yang belum terdampak langsung.
“Suasana perang ini tidak main-main. Dampaknya jelas akan menyebabkan resesi ekonomi dunia, terganggunya rantai pasok, serta naiknya harga energi, minyak, dan gas,” tegasnya.
Dalam konteks tersebut, Syahganda menilai Indonesia perlu menentukan sikap tegas. Ia menyoroti langkah Presiden Prabowo Subianto yang memilih menghadiri undangan Rusia ketimbang G7 sebagai sinyal keberpihakan di luar blok Barat.
Keikutsertaan Indonesia dalam BRICS serta pernyataan kritis Menteri Luar Negeri terhadap G7 juga dianggap menunjukkan posisi diplomatik yang mulai jelas. Namun demikian, sikap netral tak menjamin keselamatan nasional.
“Belanda waktu Perang Dunia I netral, tapi di Perang Dunia II langsung diduduki Jerman. Jadi netral itu tidak gampang," jelasnya.
Syahganda pun mengkritik kurangnya keseriusan elite pemerintah dalam menyiapkan sistem pertahanan dan ekonomi nasional di tengah ancaman global.
Ia menyebut para pemimpin di bawah Prabowo terlihat sibuk mengurus isu-isu lokal seperti Raja Ampat dan sengketa pulau, sementara isu besar seperti ketahanan pangan dan energi belum terlihat terkoordinasi.
“Saya berpikir mungkin nggak kita ke depan masuk ke dalam ekonomi komando," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa era pemerintahan Prabowo harus dipenuhi oleh menteri dan kepala daerah yang berpikir ideologis dan bekerja untuk kepentingan negara, bukan sekadar mengejar keuntungan.
“Kalau tidak, kita hanya akan menjadi bangsa yang sia-sia di tengah gejolak dunia,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: