Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo meminta sebaiknya pemerintah memahami duduk persoalan jutaan hektare lahan sawit yang ditanam secara ilegal di kawasan hutan.
“Dalam prosesnya, di situ ditemukan tentang industri sawit, terdapat ketelanjuran jumlahnya 3,5 juta hektare lahan. Itu data dari Kementerian Kehutanan. Bagaimana cara menyelesaikannya? Kan tidak bisa yang seperti itu kita lepas, faktanya juga kita memungut pajak dari mereka, kita dapat feedback dari dana ekspor. Akhirnya kita carikan solusi, dengan melakukan pemutihan terhadap keterlanjuran,” ucap Firman dalam keterangannya, Kamis, 27 Maret 2025.
Lanjut dia, setelah DPR bersama pemerintah melakukan penyisiran data, terdapat setidaknya tiga pengelompokan data terkait kepemilikan lahan sawit di atas 3,5 juta hektare tanah yang terindikasi ilegal.
“Pertama itu ada kelompok petani yang juga bagian dari petani-petani yang mendapatkan program transmigrasi di zaman Pak Harto kemudian setelah reformasi terlantar, ini menjadi tidak bertuan, tidak ada izin dan sebagainya. Ini yang kita putihkan. Namun ketika itu, ada petani dengan kepemilikan luasan lahan mencapai 100 hektare meminta pemutihan. Kami nggak mau! Kalau 100 hektare itu bukan petani, sudah masuk kategori pengusaha,” bebernya.
Selanjutnya ada kelompok dua, yakni pelaku usaha yang sudah memproses izinnya dan dia boleh menanam sambil menunggu HGU, tapi muncullah surat keputusan Menteri Kehutanan di era Zulkifli Hasan tentang penetapan kawasan hutan. SK tersebut lantas memuat lahan sawit yang kadung memproses izin sebagai kawasan hutan.
Legislator Golkar ini menegaskan seharusnya pemerintah memberikan fokus penindakan dan pemberlakuan sanksi kepada kelompok ketiga, yakni perusahaan sawit yang menabrak aturan dan tak memproses izin tanam.
“Mereka tahu itu kawasan hutan, tapi mereka tetap memaksa menanam di situ. Nah ini yang harus dikenakan sanksi seberat-beratnya. Sanksi seberat-beratnya adalah dikenakan sanksi denda dan kemudian diberikan kesempatan dua siklus panen, setelah itu lahan wajib dikembalikan ke negara,” ungkapnya.
“Untuk mengatasi persoalan ini diberikan kepada pemerintah waktu untuk menyelesaikan selama 3 tahun. Namun ketika itu KLHK tidak mampu menyelesaikan dalam waktu 3 tahun. Dengan masalah 3,5 juta hektare ini, 3,5 tahun relatif mudah kalau ada keseriusan. Akhirnya berlarut-larut sampai pergantian pemerintahan baru tidak bisa selesai, tiga tahun masa berlakunya habis, maka saat ini Pak Prabowo membentuk Satgas,” bebernya.
Sayangnya, sambung Firman, tupoksi Satgas PKH ini lebih kepada penindakan hukum, sehingga para pelaku usaha sawit mengalami dilema.
“Satgas ini masuknya langsung ke penindakan hukum. Ini saya minta kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, cobalah kita jangan hanya memikirkan masalah yang terkait dengan beras saja. Tapi sawit juga yang memberikan kontribusi pendapatan besar bagi negara,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: