Insiden paling menonjol tercatat terjadi pada tanggal 21 Oktober 2024, ketika kapal China Coast Guard 5402 diusir oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Laut Natuna Utara karena mengganggu aktivitas survei dan pengolahan data seismik 3D yang dilakukan oleh PT. Pertamina dengan menggunakan kapal MV. Geo Coral, dan hal tersebut menjadi sorotan internasional.
Menurut pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, insiden ini bukan hanya mempertegas posisi strategis Indonesia, tetapi juga menunjukkan komitmen negara dalam menjaga kedaulatan wilayah.
"Kejadian ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia tidak akan mundur menghadapi klaim sepihak yang bertentangan dengan hukum internasional. Dalam catatan saya, Laut Natuna Utara memiliki luas 83.000 km2. Ketegasan Indonesia dalam menolak klaim China di Laut Natuna Utara memperlihatkan pentingnya diplomasi dan kekuatan pertahanan maritim kita," ujar Capt. Hakeng dalam keterangan yang diterima redaksi, Rabu, 18 Desember 2024.
Diplomasi Indonesia melalui ASEAN dan PBB menjadi langkah strategis yang menegaskan komitmen terhadap UNCLOS 1982 terutama sebagaimana tertuang dalam pasal 56 UNCLOS 1982 tentang hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Lanjut dia, melalui pendekatan ini, Indonesia tidak hanya menjaga kedaulatan wilayahnya tetapi juga menunjukkan kepemimpinan di kawasan Asia Tenggara.
Capt. Hakeng menyoroti juga konflik yang sedang terjadi di Laut Merah dan Teluk Aden yang melibatkan kelompok Houthi, menambah tekanan pada jalur pelayaran internasional.
“Jalur strategis ini, yang merupakan penghubung utama bagi perdagangan global, menghadapi ancaman serius berupa lonjakan tarif pengiriman, keterlambatan logistik, dan risiko terhadap suplai energi,” jelasnya.
"Konflik ini berdampak langsung pada ekonomi global, termasuk Indonesia, sebagai negara yang sangat bergantung perekonomiannya pada stabilitas jalur pelayaran strategis seperti Selat Malaka," tambah dia.
Selat Malaka sendiri merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, dimana sehari bisa dilewati lebih dari 200 kapal. Pasalnya, volume perdagangan yang melewati jalur ini bisa mencapai lebih dari 400 miliar Dolar AS dalam setahun.
“Sebagai respons, Indonesia harus memperkuat koordinasi regional untuk menjamin keamanan pelayaran di jalur vital tersebut. Patroli maritim yang lebih intensif, kerja sama dengan negara-negara tetangga, dan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) menjadi prioritas utama pemerintah,” imbuhnya.
Menyongsong tahun 2025, Capt. Hakeng menekankan pentingnya kebijakan maritim yang terintegrasi. Kebijakan ini harus mencakup penguatan kapasitas pertahanan laut, pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, dan kerja sama internasional yang lebih erat.
"Indonesia memiliki tanggung jawab besar sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Kebijakan yang terintegrasi akan memastikan bahwa laut kita tidak hanya menjadi sumber daya ekonomi, tetapi juga simbol kedaulatan dan harapan bangsa," tegasnya.
Ia juga mencatat bahwa ketegangan di Laut China Selatan akan tetap menjadi tantangan di tahun mendatang. Indonesia harus terus mempertahankan kedaulatannya di Laut Natuna Utara melalui diplomasi aktif dan penguatan patroli maritim.
"Dengan memanfaatkan potensi laut secara strategis, menjaga keberlanjutan ekosistem, dan mempererat kerja sama internasional, Indonesia dapat memperkuat posisinya di sektor maritim global," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: