Rencana tersebut dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai turunan PP 28/2024.
Menkes Budi menyampaikan bahwa pihaknya tengah mengkaji kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek bersama mitra bisnis Kemenkes. Dia juga telah mengajak diskusi asosiasi usaha untuk membahas aturan tersebut.
"Memang itu sedang dikaji. Kami sedang mengajak diskusi mitra bisnis kita," ujar Budi.
Kendati tengah dikaji, nampaknya sejumlah asosiasi usaha berpandangan lain. Di mana protes dan penolakan masih bergulir hingga saat ini yang mengisyaratkan belum diakomodirnya masukan pelaku usaha.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) misalnya, telah mengingatkan pemerintah terkait pasal-pasal yang bermasalah dalam PP 28/2024 dan RPMK.
Wakil Ketua Umum Apindo Franky Sibarani menyoroti wacana standardisasi berupa kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau maupun rokok elektronik yang tertuang dalam RPMK, serta ketentuan dalam PP meliputi zonasi larangan penjualan dan iklan hingga aturan batasan tar nikotin yang akan menghantam keberlangsungan industri, pelaku usaha kecil, serta konsumen.
"Kita sudah melakukan berbagai koordinasi dan kajian, di mana sebenarnya aturan-aturan ini cukup memberatkan bagi multi sektor, baik industri, pedagang, petani, dan sebetulnya juga konsumen," kata Franky dalam keterangan tertulis, Rabu (2/10).
Menurutnya, yang menjadi masalah besar dari aturan karena dalam proses pembuatan sampai dengan isinya kurang tepat. Di mana dalam merumuskan PP 28/2024 maupun RPMK ini pemerintah tidak melibatkan industri, baik pembina industri maupun pelaku industrinya itu sendiri.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan turut menyuarakan kekhawatirannya terhadap dampak kebijakan yang terlalu ketat dari Kemenkes.
"Kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang bukanlah solusi efektif untuk menurunkan prevalensi merokok, tetapi hanya akan membuka jalan bagi produk ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai," tandasnya.
BERITA TERKAIT: