Mulyanto menilai proses peleburan Balitbang Pertanian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terbukti tidak berhasil, malah dikhawatirkan membahayakan keberlangsungan penyediaan pangan nasional.
"Kita prihatin mendengar curhat Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam Raker dengan DPR yang viral di medsos, bahwa Indonesia akan kehilangan plasma nutfah pasca integrasi Balitbang Pertanian ke dalam BRIN. Karenanya saya meminta agar riset pertanian dapat dihidupkan kembali dan bencana itu dapat dicegah" ujar Mulyanto dalam keterangannya yang diterima redaksi, Senin malam (24/6).
"Lebih bagus terlambat daripada penelitian pertanian hancur-lebur sama sekali," tegasnya.
Mulyanto menilai peleburan Balitbang pertanian ke dalam BRIN yang melibatkan jumlah aset dan SDM riset yang sangat besar dan luas terbukti malah membawa masalah bagi pembangunan pertanian nasional.
Sebelumnya dia sudah memperkirakan hal itu. Bila peleburan tersebut dipaksakan, maka akan berdampak buruk bagi kegiatan penelitian sektor pertanian.
Mengingat salah satu konsekuensi peleburan lembaga riset adalah penyesuaian organisasi dan rasionalisasi SDM.
"Ada 1.200 peneliti pertanian yang melebur ke dalam BRIN utamanya profesor riset. Sementara lab dan lahan riset di Kementerian Pertanian menjadi kosong-melompong. Ini adalah masalah besar bagi riset pertanian. Dan ternyata dugaan saya tidak keliru," ungkapnya.
Dia menyebut Litbang pertanian itu berbasis lahan dengan aset dan SDM tersebar di berbagai daerah. Kemerosotan riset pertanian akan mengancam ketahanan pangan nasional. Jadi tidak perlu dipaksakan litbang pertanian melebur ke dalam BRIN.
"Ini akan menambah masalah baru yang tidak perlu,” kata Mulyanto yang pernah berkarir di Kementerian Pertanian dan Kemenristek.
Untuk diketahui sebelum melebur ke BRIN terdapat 7.812 orang yang terlibat dalam kegiatan Balitbang Pertanian. Dari jumlah itu sebanyak 2.553 di antaranya merupakan tenaga fungsional yang terdiri dari peneliti, perekayasa, pustakawan, pranata komputer, arsiparis, teknisi litkayasa statistisi, penyuluh, analis kepegawaian dan perencana.
Ada sebanyak 3.500 karyawan honorer serta 2.000 lebih sisanya adalah karyawan kontraktual.
"Dari sisi aset, peleburan ini berpotensi memicu konflik kepemilikan. Karena proses administrasi pindah tangan kan tidak mudah dilakukan. Sehingga aset yang semula sangat produktif sangat mungkin untuk terbengkalai,” bebernya.
“Aset di sini tidak saja meliputi ribuan hektar lahan tetapi juga fasilitas pembibitan dan riset lainnya yang tidak bisa dihitung secara nominal,” tandas Mulyanto.
BERITA TERKAIT: