Hal itu ditegaskan oleh pengamat politik dan kebijakan negara dari FHISIP Universitas Terbuka Insan Praditya Anugrah dalam pernyataannya, Rabu (1/5) sebagai respons terhadap peringatan Hari Buruh Sedunia (Mayday).
"Adanya ketentuan pekerja kontrak tanpa batas waktu dan sistem outsourcing pada aturan undang-undang terkini melemahkan posisi tawar pekerja karena hak-hak mereka sebagai pekerja dan besaran upah tidak seperti pegawai tetap,” ujar Insan kepada
Kantor Berita Politik RMOL.
“Negara seharusnya menghapus sistem kontrak dan outsourcing apabila berpihak kepada rakyat," tambahnya menegaskan.
Sistem outsourcing dan kontrak melemahkan daya tawar buruh karena karirnya dapat diakhiri melalui pertimbangan sepihak perusahaan.
"Dengan outsourcing dan pekerja kontrak, maka pihak perusahaan memiliki daya tawar lebih besar sedangkan buruh hanya dilihat sebagai jumlah sumber daya yang dapat diakhiri karirnya ketika dinilai tidak sesuai dengan kepentingan perusahaan,” jelas dia.
Insan menilai bahwa praktik kontrak dan outsourcing merupakan eksploitasi pekerja karena usianya dihabiskan untuk berproduksi tanpa kepastian karir.
"Selama ini, praktek pekerja kontrak dan outsourcing menguntungkan perusahaan karena dapat tidak dilanjutkan masa kerjanya dengan penilaian sepihak, pekerja pun dieksploitasi dengan berproduksi untuk perusahaan namun hanya menghabiskan usia karena tidak ada kepastian karir," tandas Insan.
BERITA TERKAIT: