Untuk melawan rezim Soeharto kala itu, Aam dkk menggalang kekuatan mahasiswa, buruh, dan rakyat. Aam dkk membentuk simpul-simpul perlawanan di setiap kampus di seluruh Indonesia.
Sikap kritis Aam ke rezim Soeharto sangat dipengaruhi perintah agama Islam
Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Fungsi mahasiswa sebagai
agent of change (agen perubahan) terpatri kuat di pikiran Aam.
Aam memang gencar melakukan berbagai aksi dan suara kritis ke penguasa saat itu. Membuat dirinya harus berurusan dengan ABRI, dan kampus UMY tempat dirinya menempuh ilmu.
UMY memperingatkan secara keras agar Aam tidak membawa nama institusi kampus ketika melakukan demo maupun advokasi ke rakyat. Sangat beralasan, Soeharto dikenal punya hubungan baik dengan petinggi Muhammadiyah dan UMY.
Aam pun harus rela pindah ke Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Kepindahan Aam tidak bisa dilepaskan intervensi ABRI di UMY. Walaupun begitu, Aam tetap menjaga hubungan baik dengan dosen dan UMY. Ia masih menjadi keluarga besar alumni UMY (KAUMY).
Ia harus rela tersingkir dari UMY yang dicintainya demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Aam pun menyelesaikan tingkat sarjana (strata 1) di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Kepindahannya ini tak membuat dirinya lepas dari pengawasan Intel ABRI. Terutama ketika Aam mengadakan diskusi, rapat, hingga aksi. Diinterogasi Intel ABRI menjadi hal yang biasa dialami Aam.
Di sisi lain, untuk menambah pengetahuan bagi gerakan mahasiswa, Aam mengundang tokoh-tokoh kritis seperti Arief Budiman (Dosen UKSW), Romo Mangun, WS Rendra untuk berdiskusi di Yogyakarta.
Ada hal yang tidak dilupakan Aam ketika mengadvokasi warga yang tergusur proyek Kedung Ombo. Pemerintahan Soeharto tidak memberikan ganti rugi yang layak bagi warga setempat.
Dibantu YLBHI, Aam mendampingi warga sampai ke pengadilan untuk mencari keadilan. Namun, keadilan di era Soeharto sangat sulit diperoleh.
Aam juga mengorganisir buruh, mahasiswa, dan rakyat dalam menyuarakan keadilan buat Marsinah, salah satu aktivis buruh yang menjadi korban di era Orde Baru.
Marsinah sempat diculik oleh sekelompok orang, hingga kemudian mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, pada 8 Mei 1993.
Tak hanya itu, pembredelan
Majalah Tempo, Editor, dan
Detik turut mendapat penolakan Aam. Ia bersama kawan-kawan aktivis menggelar demo menentang pembredelan 3 media itu di UGM.
Aam juga menjalin hubungan dengan aktivis senior seperti almarhum Adnan Buyung Nasution, Prof Affan Gaffar, almarhum Adi Sasono, almarhum Rizal Ramli, Hariman Siregar, dan lain-lain. Bahkan almarhum Rizal Ramli dengan Aam seperti adik kakak. Aam memanggil Rizal Ramli dengan sebutan bang.
Hal sama juga terhadap Hariman Siregar. Aam memanggil Hariman dengan sebutan bang. Setiap acara memperingati peristiwa Malari 74 yang diadakan Hariman Siregar, Aam selalu mendapat undangan dan hadir.
Saat ini, Aam menjadi calon legislatif (caleg) DPR RI nomor 1 dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan (Dapil) Jatim VI meliputi Blitar, Kediri, dan Tulungagung.
Keputusan Partai Demokrat sudah tepat dengan mengajukan Harun Sulkam menjadi caleg karena kepeduliannya terhadap rakyat tidak diragukan.
Pengalaman panjang Aam dalam membela kepentingan rakyat akan diperjuangkan di DPR. Jika terpilih menjadi anggota DPR, ia akan mendorong pengesahan UU Perlindungan Asisten Rumah Tangga (ART).
Aam juga akan memperjuangkan penambahan anggaran subsidi pupuk bagi petani.
"Pupuk subsidi (harus) ditambah anggarannya, sehingga bisa diakses oleh masyarakat diikuti dengan tata kelola yang baik. Jadi (harus) ditambah tapi kalau tidak baik tata kelolanya, masih amburadul, banyak penyelewengan, pengawasannya tidak bagus juga percuma. Hanya orang-orang tertentu saja yang kemudian menikmati," papar Aam, dalam keterangannya, Selasa (30/1).
Seorang warga Kediri bernama Iwan Setiawan (45) menilai Aam layak menjadi anggota DPR.
"Keberpihakan Pak Harun Sulkam terhadap rakyat tidak diragukan lagi. Saya pilih beliau," tegasnya.
Iwan mengatakan, Aam telah banyak membantu rakyat kecil.
“Setiap Ramadhan ada bantuan dari beliau,” ujarnya.
Sementara Budiman (36) warga Blitar, menilai Harun Sulkam merupakan sosok yang merakyat.
“Pak Harun layak menjadi wakil rakyat. Saya doakan beliau menjadi anggota DPR RI,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: