Analisa tersebut disampaikan pengamat politik dari Citra Institute, Efriza, saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (30/3).
“FIFA telah mempelajari dengan seksama mengikuti perkembangan Indonesia, sebagai Negara Kesatuan yang semestinya kepala daerahnya patuh kepada pusat,†ujar Efriza.
Ia menerangkan, penolakan Gubernur Bali, I Wayan Koster dan juga Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo adalah bentuk inkonsistensi pemerintah.


“Pemerintah daerah ternyata malah nyeleneh dari kebijakan pemerintah pusat dan kesepakatan yang mereka lakukan,†sambungnya menuturkan.
Maka dari itu, dosen ilmu pemerintahan Universitas Sutomo ini memandang, FIFA kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak kompak untuk suksesi penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2023.
“Dari ini juga bisa diterjemahkan jangan sampai sepakbola jadi barang dagangan politisasi partai dan aktor politik Indonesia. Ini menunjukkan beban pemerintah akan semakin berat,†tuturnya.
BERITA TERKAIT: