"Permasalahan tersebut mulai dari proses persiapan, pelelangan, pendanaan, konstruksi, operasi pemeliharaan, dan pengambilalihan konsesi," ujar Kepala Satuan Tugas Direktorat Monitoring KPK, Juliawan Superani, dalam agenda penyampaian hasil Kajian Pencegahan Korupsi bertajuk Tata Kelola Penyelenggaraan Jalan Tol pada Kementerian PUPR, di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Senin (20/2).
Permasalah pertama adalah, tidak akuntabelnya perencanaan pembangunan. Di mana kata Juliawan, perencanaan jalan tol masih diatur melalui SE Direktur Jenderal Bina Marga nomor 16/SE/Db/2020 tentang Juknis Perencanaan Jalan Tol.
Padahal, berdasarkan PP 15/2005 tentang Jalan Tol, Pasal 10 Ayat 1 menjelaskan kebijakan perencanaan jalan tol disusun dan ditetapkan oleh menteri setiap lima tahun sekali dan dapat ditinjau kembali.
"Akibatnya, substansi perencanaan yang dilakukan belum mempertimbangkan pelbagai perspektif. Contohnya perencanaan yang ada belum memperbimbangkan adanya kompetisi antar ruas tol. Alhasil, pemerintah tidak mendapat manfaat maksimal atas alokasi dana pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol," katanya.
Permasalah kedua, KPK mendeteksi lemahnya akuntabilitas lelang pengusahaan jalan tol. Di mana, dokumen lelang yang hanya mengacu pada
basic design, tidak cukup memberikan gambaran atas kondisi teknis dari ruas tol yang akan dilelangkan.
Akibatnya, pemenang lelang akan mengubah item yang dikompetisikan dalam dokumen lelang seperti tarif dan masa konsesi karena adanya penambahan nilai konstruksi pascapenyusunan Rencana Teknik Akhir (RTA).
"Pun, masih ditemukan terpilihnya investor yang tidak bisa memenuhi kewajiban finansial, sehingga membebani investor lain dalam konsorsium yang mengakibatkan tertundanya pengusahaan jalan tol," terang Juliawan.
Temuan ketiga dalam kajian KPK adalah, adanya dominasi investor jalan tol yang merangkap sebagai kontraktor. Dari hasil kajian yang dilakukan, ditemukan fakta bahwa BUMN Karya menjadi investor untuk ruas jalan tol non-penugasan pada 28 dari 42 ruas atau setara dengan 61,9 persen. Keterlibatan dalam pengusahaan jalan tol menjadi strategi perusahaan karya untuk mendapatkan pekerjaan konstruksi atau
feeding construction.
Selanjutnya, persoalan keempat adalah lemahnya pengawasan pengusahaan jalan tol. Penyebabnya ialah, belum adanya mitigasi permasalahan yang berulang terkait pemenuhan kewajiban BUJT dalam mengimplementasikan PPJT. Benturan kepentingan akibat rangkap jabatan, dan belum adanya integrasi data informasi pelaksanaan klausul PPJT turut berkontribusi menjadi penyebab lainnya.
Kemudian temuan yang kelima, belum adanya pengaturan detail atas lanjutan kebijakan pengusahaan jalan tol. Mekanisme penyerahan pengelolaan jalan tol kepada BUMN ataupun pengalihan status menjadi jalan bebas hambatan non tol sebagaimana amanah UU 2/2022 tentang Jalan belum diatur lebih lanjut. Akibatnya, belum jelasnya mekanisme proses lanjutan pascapelimpahan hak konsesi BUJT ke pemerintah.
Lalu temuan keenam dalam kajian KPK adalah, tidak semua BUJT membayarkan dana bergulir dan pengadaan tanah jalan ke pemerintah.
Kondisi itu kata Juliawan, terjadi akibat lemahnya pengawasan dalam memastikan pelaksanaan kewajiban pembayaran BUJT. Di mana, terdapat 12 BUJT yang belum mampu mengembalikan dana BLU sebesar Rp 4,2 triliun dan delapan di antaranya belum dapat menyelesaikan pembayaran pada 2024.
"Selain itu, belum ada informasi terkait pembayaran terhadap nilai tambah bunga dana bergulir sebesar Rp 394 miliar yang merupakan pendapatan negara. Akibatnya, terdapat potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,5 triliun," pungkas Juliawan.
BERITA TERKAIT: