Begitu analisis peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (5/4).
Huda menjelaskan, pada kurun waktu dua tahun sebelumnya, atau tepatnya pada 2020, Pertamina sempat mendapat untung besar hingga mencapai Rp 15,3 triliun sebagai dampak dari penurunan harga minyak dunia yang berada di kisaran 20 dolar AS per barel.
"Ketika itu pemerintah sama sekali tidak menurunkan harga BBM. Makanya ketika itu bisa dibilang 'mensubsidi' Pertamina melalui pembelian BBM," jelas Huda.
Namun ketika harga minyak dunia meningkat sekarang ini, Huda justru melihat Pertamina melakukan penyesuaian harga dengan mengikuti perkembangan harga minyak global.
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sudah memberi sinyal bahwa harga bensin beroktan 90 atau Pertalite juga bakal ikut dinaikan harganya dari yang berlaku saat ini, yakni Rp 7.650 per liter.
"Makanya saya rasa kita perlu meminta Pertamina agar menunda terlebih dahulu kenaikan harga BBM jenis Pertalite yang saya rasa paling banyak digunakan oleh masyarakat menengah," ujarnya.
Menurut Huda, apabila pemerintah dan Pertamina benar-benar menaikkan harga Pertalite, kemungkinan besar ekonomi masyarakat akan semakin tergerus.
"Di tengah impitan kenaikan harga beberapa barang, kenaikan harga Pertalite akan tambah memberatkan beban masyarakat," demikian Huda.
Rencana kenaikan harga Pertalite sudah didengar banyak masyarakat. Di mana, harga baru yang akan diberlakukan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk Pertalite adalah Rp 9 ribu per liter.
BERITA TERKAIT: