Eko menyampaikan temuannya tersebut dalam diskusi virtual Jakarta Journalist Center bertajuk "Amannya Minyak Goreng untuk Rakyat", Kamis (24/3).
Mulanya Eko menjelaskan soal kebijakan terbaru pemerintah yang menetapkan harga eceran tertinggi atau HET minyak goreng curah sebesar Rp 14.000 tak terimplementasi di lapangan.
"Saya menduga kebijakan terbaru ini juga tidak efektif. Kenapa? Oke HET hanya untuk minyak curah itu akan lebih membantu masyarakat ekonomi kelas bawah. Tapi masalahnya, barangnya juga tidak ada tuh di pasar tradisional hari ini," ujar Eko.
Kelangkaan minyak goreng curah di pasar tradisional, menurut Eko, adalah salah satu implikasi dari pencabutan HET minyak goreng kemasan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), sehingga muncul banyak merk baru untuk minyak goreng kemasan.
"Implikasinya apa? Ya tetap masyarakat bawah harus membeli Migor yang kemasan yang harganya sudah 24 ribu hari ini, atau bahkan lebih di beberapa tempat," imbuhnya menegaskan.
Kondisi yang terjadi tersebut, lanjut Eko, telah menggerus daya beli masyarakat. Karena, subsidi minyak goreng curah seharga Rp 14.000 lewat skema pendanaan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), tidak efektif.
Karena menurutnya, subsidi itu tak bisa mengendalikan mafia minyak goreng yang lebih memilih menimbun barang untuk mendapat untung yang lebih banyak, ketika HET akhirnya dicabut oleh pemerintah.
"Jadi apa yang terjadi? Ya sudah tidak bisa (dikatakan) negara kalah lagi, tapi memang tidak bisa berbuat apa-apa," demikian Eko.
BERITA TERKAIT: