Surati Jokowi, Korban Mafia Tanah Minta Perlindungan Negara

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Rabu, 10 November 2021, 15:55 WIB
Surati Jokowi, Korban Mafia Tanah Minta Perlindungan Negara
Surat terbuka korban mafia tanah untuk Presiden Joko Widodo/Ist
rmol news logo Korban mafia tanah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta keadilan dan meminta perampas tanah rakyat diberantas.

Surat terbuka tersebut tak hanya ditujukan kepada Presiden Jokowi, melainkan juga kepada Ketua DPR RI, Puan Maharani; Ketua Mahkamah Agung, ; Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil; dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Dalam surat terbuka itu, Pendeta Tjahjadi Nugroho sebagai perwakilan keluarga korban mafia tanah atas nama almarhum Jhon A Pisanis meminta perlindungan dan kepastian hukum kepada pemerintah.

"Kami meminta perlindungan dan kepastian hukum atas sebidang tanah yang kami peroleh dari Komando Urusan Pembangunan Asian Games (Kupag)/1962 karena relokasi dari Senayan," kata Pendeta Tjahjadi Nugroho dalam surat terbukanya yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (10/11).

Adapun tanah yang dipermasalahkan berada di petakan VL/BZ MT Haryono BZ 3, Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan seluas 3.750 meter persegi dengan surat kuitansi No. 3/40/KUT/S.62 tanggal 12 November 1962.

Pendeta Tjahjadi menjelaskan, tanah tersebut kini dipagar dan dikuasai PT Mustika Chandra Guna (Sinar Mas Grup) yang berdasar HGB 1666/2005 dengan hak 7.955 meter persegi. Namun, Pendeta Tjahjadi menyebut pihak PT Mustika Chandra telah memagar dan menguasai lahan seluas 10.699 meter persegi, termasuk tanah milik Alm Jhon A Pisanis.

"Kami tidak ada hubungan hukum dengan perusahaan tersebut, jadi tanah kaml dirampas. Untuk itu kami meminta perlindungan hukum," jelasnya.

Ia lantas memaparkan kronologi persoalan tanah tersebut. Dalam melaksanakan Keppres pembangunan Asian Games, Kupag telah membebaskan tanah lokasi penyelenggaraan dan berakibat penduduk di Senayan direlokasi.

Kantor Agraria (BPN Jakarta) menerima berkas serah terima dari Kupag bernomor 169/Dir/66 tanggal 26 Juli 1966 sebagai pendaftar tanah. Namun Kementrian Agraria disebut menerbitkan rekomendasi No.SK.II/21/Ka/63 tanggal 25 Mei 1963 yang memberikan hak kepada Umar Mubarak Baluwel sehingga terbit HGB 2 atas lahan BZ 1 sampai BZ 7 seluas 20.353 meter persegi.

"Terjadilah tumpang tindih hak, sekaligus melanggar hukum prinsip, melawan Keppres. Ini jelas kesalahan BPN yang harus dikoreksi oleh BPN sendiri. (PP 21/2020 Pasal 35)," lanjut Pendeta Tjahjadi.

Ia melanjutkan, HGB lahan tersebut kemudian dibatalkan internal Kantor Agraria dengan terbitnya surat Kakanwil BPN DKI No.1598/600.18-31/VIII/2011 tanggal 2 Agustus 2011. Namun surat itu tidak ditindaklanjuti sehingga terjadi jual beli.

Hal ini ditegaskan oleh Opstibpus dengan surat No.K-61/OPSTIBPUS/IX/1985 tanggal 10 September 1985 sebagai pelanggaran hukum prinsip, dan karenanya telah dicabut dan dibatalkan oleh Menpan, Ketua Tim Penyelesaian tanah berdasar Keppres 5/1985 tahun 1985, diulang tahun 1986 karena tidak ditindaklanjuti sebagaimana surat keterangan Sekmenpan No.B-503/11/1990 tanggal 1 Juli 1990.

"Muncul pertanyaan besar, bolehkah Keppres dibatalkan atau dianulir oleh keputusan menteri? Bolehkah surat hak tanah yang sudah dicabut digunakan sebagai alas penerbitan sertifikat baru? Di mana negara melindungi hak," demikian Pendeta Tjahjadi dalam surat terbukanya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA