Penerapan ambang batas ini dinilai hanya merusak iklim demokrasi dan merampas hak parpol untuk bisa dalam mengajukan calon presidennya. PT 20 juga mengabaikan hak rakyat untuk bisa mendapatkan opsi calon pemimpin yang lebih banyak dan berkualitas.
Atas dasar hal tersebut, sejumlah tokoh nasional pun akan mendatangi Mahkamah konstitusi, siang ini, Jumat (4/9).
Didampingi pakar hukum tata negara, Refly Harun, tokoh bangsa Dr. Rizal Ramli dan Abdul Rachim akan melakukan judicial review (JR) tentang presidential threshold atau ambang batas pemilihan presiden.
Menanggapi polemik presidential threshold ini, pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Andi Yusran berpendapat, PT presiden memang kontraproduktif dengan upaya membangun sistim politik yang demokratis.
"Karena PT akan membuat biaya ekonomi tinggi dalam politik elektoral, seperti dalam pemilu, PT juga menstimulus maraknya transaksi 'fulus' antar aktor politik dalam membangun koalisi," ungkapnya saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (4/9).
Selain itu menurut Andi, ketika pemilu legislatif bersamaan pelaksanaannya dengan pemilihan umum presiden, maka PT menjadi tidak lagi relevan.
"Sejatinya setiap partai yang lolos sebagai partai peserta pemilu memiliki hak mencalonkan kadernya dalam kontestasi pilpres," jelas Andi.
Untuk diketahui, presidential threshold yang tercantum dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres.
Di mana parpol pengusung capres dan cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional. Dengan kata lain, PT akan membatasi munculnya calon-calon pemimpin potensial yang dimiliki bangsa ini.
BERITA TERKAIT: