Enam Bulan KPK Era Firli Bahuri, Ini Hasil Kajian ICW Dan Transparency Internasional Indonesia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Kamis, 25 Juni 2020, 21:07 WIB
Enam Bulan KPK Era Firli Bahuri, Ini Hasil Kajian ICW Dan Transparency Internasional Indonesia
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi/Net
rmol news logo Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) merilis hasil kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semester 1 tahun 2020.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, ICW bekerjasama dengan TII telah mencatat ragam perasaan yang ada di internal KPK selama enam bulan terakhir.

Dari hasil kajian ini, terdapat tiga fokus utama yang meliputi kinerja penindakan, pencegahan dan kebijakan internal organisasi.

"Ketiga poin ini nantinya diharapkan dapat mencerminkan situasi stagnasi pemberantasan korupsi di KPK," ucap Kurnia Ramadhana saat memaparkan hasil kajian melalui diskusi virtual, Kamis (25/6).

Pada kinerja penindakan, kata Kurnia, upaya penindakan yang dilakukan KPK terjadi penurunan yang drastis dan seringkali menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

"Hal ini didasari atas minimnya tangkap tangan, menghasilkan banyak buronan, tidak menyentuh perkara besar dan juga abai dalam melindungi pada saksi. Padahal instrumen penindakan menjadi salah satu bagian utama untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan korupsi," jelas Kurnia.

Sementara peneliti TII, Alvin Nicola menambahkan, pada kinerja pencegahan dinilai belum berjalan secara optimal.

Hal tersebut kata Alvin dapat dilihat dari minimnya koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, ketiadaan strategi baru salam pencegahan kerugian keuangan negara.

"Selanjutnya stagnasi program pencegahan korupsi di sektor strategis dan strategi nasional pencegahan korupsi belum efektif. Sehingga KPK dalam hal ini penting untuk merombak ulang strategi pencegahan karena terbukti gagal dalam enam bulan terakhir," terang Alvin.

Sedangkan yang ketiga soal internal organisasi di KPK, Kurnia melanjutkan bahwa kebijakan di internal KPK dinilai seringkali hanya didasarkan atas penilaian subjektivitas semata.

"Bahkan dengan melihat iklim di lembaga anti rasuah saat ini praktis publik dapat memahami bahwa terdapat dominasi dari salah satu pimpinan KPK dalam mengambil setiap kebijakan," lanjut Kurnia.

Kesimpulan itu sambung Kurnia merujuk pada informasi yang muncul ke publik terhadap fakta yang terjadi di KPK.

Diantaranya, pengembalian paksa penyidik KPK ke Polri, penafsiran keliru publikasi penghentian penyelidikan, tertutupnya akses publik, upaya intervensi pemanggilan saksi, kental dengan gimmick politik dan memberikan perlakuan khusus kepada tersangka.

"Tentu ini menunjukkan minimnya pengetahuan dari pimpinan KPK untuk menciptakan tata kelola organisasi yang baik," tutur Kurnia.

Sementara itu, ICW dan TII juga menilai bahwa fungsi Dewan Pengawas (Dewas) KPK belum berjalan efektif sebagaimana yang dimandatkan oleh UU 19/2019.

"Hal ini karena sejak pimpinan KPK dilantik praktis tidak ada temuan penting terhadap potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai lembaga anti rasuah ini. Ini menunjukkan bahwa Dewas berupaya menutup diri terhadap ragam persoalan di era kepemimpinan Komjen Firli Bahuri," jelasnya.

"Tak hanya itu, saat merumuskan kode etik, Dewas juga tidak lagi mengakomodir pengaturan etik pimpinan KPK," beber Kurnia.

Dengan demikian, ICW dan TII memberikan rekomendasi kepada KPK agar dapat membenahi sektor penindakan, pencegahan dan tata kelola organisasi pimpinan KPK dengan meminimalisir gimmick politis dan mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam mengeluarkan sebuah kebijakan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA