Alasannya, sudah banyak menteri yang tidak fokus bekerja, mereka was-was apakah masih tetap dipakai Jokowi atau tidak.
Dan akibatnya fatal, misalnya pertumbuhan ekonomi mentok di angka 5,2 persen, banyaknya kasus korupsi di BUMN, dan teranyar kasus pemadaman listrik di sebagian besar Pulau Jawa.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin mengatakan, secara peraturan hal itu bisa saja dilakukan Jokowi. Tapi pertanyaannya, Jokowi sebagai
user berani tidak melakukannya.
Ujang memprediksi, Jokowi tidak akan berani mempercepat pelantikan Kabinet Kerja jilid II.
Ada beberapa alasan. Pertama, akan ada tekanan dari parta politik. Kedua, gelombang kritikan akan deras datang dari masyarakat. Ketiga, mungkin bagi Istana, banyak juga menteri yang berprestasi. Keempat, kabinet pemerintahan Jokowi yang baru belum juga selesai disusun.
"Yang mungkin dilakukan Jokowi sekarang ini adalah melakukan reshuffle, mencopot menteri yang tidak becus," ujar Ujang saat dihubungi
Kantor Berita RMOL, Senin (5/8).
Menurutnya, pola seperti ini adalah pola lima tahunan, yaitu jelang akhir masa jabatan peresiden.
Harusnya, lanjut Ujang, ketika seorang menteri diberi amanah, dari awal sampai akhir dia harus konsisten dan tanggung jawab. Dia harus fokus bekerja dan mengabdi pada rakyat dan bangsa, bukan kepada kekuasaan.
"Di akhir tidak fokus, ini menandakan bekerja untuk kekuasaan," ungkapnya.
BERITA TERKAIT: