Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Indonesia Kita

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Rabu, 30 Januari 2019, 07:48 WIB
Indonesia Kita
Foto: Net
ESKALASI dan dinamika politik kita semakin mendekati Pilpres nampak semakin menghangat ataupun memanas.

Satu sisi cukup menggembirakan karena keterbukaan dan demokrasi benar-benar telah memberikan ruang yang sangat jembar bagi siapapun untuk mengekspresikan pikiran, pendapat dan sikap politik mereka kapanpun juga.

Melalui media sosial dan media-media lain, suasana yang nampak lebih liberal benar-benar terasa dalam dinamika politik kita. Tidak saja perdebatan rasional dan sehat, bahkan bully, hoax, fitnah, character assasination juga tak jarang terjadi secara telanjang.

Kemuliaan dan cita-cita demokrasi pada akhirnya justru telah dinodai oleh pikiran, statement dan perilaku yang tidak terhormat, siapapun aktornya.

Jika diperhatikan agak lebih seksama, ada beberapa kelompok dengan karakter dan kecenderungan yang berbeda-beda yang patut menjadi perhatian kita semua sebagai warga bangsa yang sehat, antara lain ialah:

Pertama, ada kelompok atau komunitas yang memandang kontestasi politik Pilpres antara paslon 01 dan 02 itu secara sangat hitam putih. Berdalih atau berdasarkan kepada keyakinan, persepsi dan asumsi agama, misalnya, tidak  sedikit kelompok masyarakat yang memandang Pilpres ini  sebagai sebuah kontestasi  yang akan sangat berpengaruh besar terhadap nasib dan masa depan agama dan umat beragama tertentu.

Atas dasar ini, kelompok ini secara terus menerus menghembuskan atau memviralkan pikiran agar masyarakat jangan memilih Paslon tertentu, karena pasangan tersebut diyakini akan merusak agama dan umatnya.  

Pasangan tertentu sudah dikatagorikan sebagai pendukung kebatilan, sementara Paslon lain disebut sebagai pembela kebenaran (al-Haq). Jadi, kontestasi Pilpres adalah pertentangan antara yang Haq dan Batil. Kontestasi ini merupakan pertaruhan fundamental dan abadi bagi agama.

Sentimen agama atau penggunaan/eksploitasi simbol dan bahasa agama dalam upaya memenangkan kontestasi dan pergumulan politik ini memang bukan hal yang baru. Sudah lama terjadi dan tidak saja di Indonesia.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa penggunaan simbol agama untuk kepentingan politik ini seebetulnya juga positif. Lihatlah perjuangan umat Islam saat melawan kolonialisme Belanda, agama dalam hal ini Islam menjadi faktor penting dan menentukan dalam kebangkitan nasionalisme.

Tak berlebihan untuk berpandangan bahwa dalam realitas historisnya, Islam era kolonial/pra kemerdekaan di Indonesia telah merupakan "agama perlawanan" terhadap kolonial dan "sumber penting bagi nasionalisme."

Akan tetapi, tidak jarang juga berdampak negatif dan destruktif manakala agama dijadikan simbol dan sumber legitimasi politik. Contoh yang sangat kongkrit dan ekstrim adalah gerakan Salafy Irhaby yang menebar teror di banyak tempat atas nama agama. Di panggung politik di Indonesiapun, terutama era Orla dan Orba, tidak jarang dalil dalil agama digunakan saat kampanye untuk saling menyerang dan memburukkan di antara kekuatan politik yang ada.  

Saat ini pun, kuat kecenderungan di sebagian masyarakat kita Islam kembali ditarik-tarik untuk diperankan sebagai agama perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap ingkar janji, tidak pro aspirasi Islam dan bahkan menyengsarakan ulama, pro Cina komunis dan sebagainya.

Logika benturan peradabannya Huntington digunakan untuk memperkokoh campuran sentimen agama dan kerakusan politik.

Ini adalah cara berpikir "Politik Hitam Putih" yang berbasis kepada sentimen agama (religio sentrisme) yang tentu saja di samping tidak akan menyehatkan dan meningkatkan iklim dan kualitas demokrasi tapi juga justru akan merusak persatuan dan sendi kehidupan berbangsa secara umum.

Kedua, ada kalangan yang karena merasa secara nominal memperoleh dukungan yang sangat besar secara nasional, mengklaim paling berjasa dan berhak atas warisan bangsa.

Kelompok ini sejak dini terus melakukan upaya tanpa lelah menghalang-halangi keikutsertaan komponen lain untuk ngurusi bangsa dan negara ini karena kelompok lain ini dinilai tidak akan mampu membangun Indonesia sebagai negara dan bangsa muslim terbesar di dunia yang mengedepankan sikap moderat (wasathy), toleran dan membangun kerahmatan bagi seluruh alam.

Sikap dan pandangan primordial seperti ini merupakan gabungan antara spirit kecongkakan, kerakusan politik, ketertutupan, egoisme dan kegilaan.

Sebagaimana kelompok pertama, kalangan primordial ini juga tidak akan bisa diharapkan produktif dan menyehatkan bagi kehidupan berbangsa. Kalangan ini juga diyakini tidak akan memiliki kemampuan untuk membangun Indonesia sebagai negara dengan peradaban tinggi.

Sikap Kita

Indonesia ke depan haruslah menjadi sebuah negara dan bangsa yang besar dan dihormati oleh semua bangsa di dunia termasuk oleh kita sendiri. Ini tugas kebangsaan semua elemen masyarakat, bukan  hanya diemban oleh pemerintah saja.

Keikutsertaan semua kalangan sangat dibutuhkan karena ini  memang menjadi kesempatan yang sangat luas bagi siapa saja.

Tak ada satupun elemen bangsa ini karena alasan apapun mengklaim paling berjasa dan berhak atas bangsa ini. Jika ada yang berpikir begitu, maka sudah bisa dipastikan bahwa kalangan ini tidak saja tidak memahami sejarah bangsa akan tetapi sekaligus juga  tidak mengerti watak dasar dan kebutuhan bangsa Indonesia ke depan.

Kekuatan civil society muslim besar seperti Muhammadiyah dan NU, dengan tetap mempertahankan ciri keislamannya yang jenuin, haruslah menjadi teladan garda terdepan antara lain untuk menyumbang dan meningkatkan kualitas demokrasi substansial.  

Bersama pemerintah, kekuatan civil society Muhammadiyah, NU dan elemen kekuatan masyarakat lainnya haruslah memiliki kemauan tulus dan kemampuan untuk menjaga NKRI dan memajukan Indonesia, dipikul secara bersama.

Indonesia adalah negeri bersama dan karena itu harus dirawat, dijaga dan diurus secara bersama. Primordialisme haruslah dibuang jauh jauh dari siapapun asalnya. Takabur atau kecongkaan untuk alasan apapun antara lain dengan menutup diri juga tidak akan memberikan manfaat sedikitpun bagi bangsa ini.

Baik Muhammadiyah maupun NU dan elemen atau kekuatan civil society lainnya haruslah secara tulus bersedia untuk saling hormati menghormati dan saling memberi untuk sebuah kepentingan yang lebih besar bagi bangsa.

Jangan sampai negeri dan bangsa ini ke depan terperangkap oleh kelompok yang mengatas namakan demokrasi, Wasaty, perdamaian, ketentraman dan kerahmatan alam akan tetapi justru bersikap ekstrim tertutup, takabur dan haus kekuasaan.

Terakhir, jika kerakusan politik yang mulai ditunjukkan ini dibiarkan, maka  akan mengakibatkan Indonesia menjadi sebuah negara dan  bangsa yang gagal dan bangkrut. Karena itu, primordialisme harus disingkirkan dalam kamus dan kehidupan berpolitik dan berbangsa. Wallahu A'lam. [***]


Penulis adalah associate professor UIN Jakarta, Ketua Dewan Pakar Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA