Habib Rizieq Syihab luar biasa. Dengan satu frase, dia membuat kaum liberal,
secular, capitalist dan komunis panas-dingin. Historian Jokower Asvi Warman Adam menyatakan yang dimaksud Habib Rizieq Syihab dengan terminologi "NKRI Bersyariah" adalah Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
Jelas, kerangka berpikir "NKRI Bersyariah" tidak keluar dari konsep Negara Pancasila.
Namun
“blame it on Islam attitude†dan Islamophobic memelintir fakta ini. Islamicity Index mempersolid keyakinan mereka bahwa Islam telah gagal menciptakan “ruang publik yang manusiawi".
Nyatanya,
the Islamic world isn't monolithic. Situasi dan masalah di
oil-rich states seperti Iraq, Iran, Libya, Arab Saudi berbeda dengan
Asian Islamic countries seperti Malaysia dan Indonesia.
Clearly, Islam is not hostile to science. Periode Islam Classic disebut sebagai
â€Islamic Golden Ageâ€. Di era Khalifa Umayyads of Córdoba, Abbadids of Seville, Samanids, Ziyarids, Buyids in Persia, dan Abbasid, Islamic scientific meliputi semua dimensi. Terutama astronomi, matematika, kimia, fisika, cartograph, dan medicine.
Terminologi "NKRI Bersyariah" dan turunan penjelasannya merupakan antithesis dari perdebatan klasik antara “sistem" dan “manusia".
Marxis menitikberatkan pada sistem. Sedangkan penganut eksistensialisme macam Jean-Paul Sartre mengutamakan individualitas.
Sistem yang baik menghasilkan output baik sekalipun dioperasikan
unskill individuals. Sebaliknya, orang-orang handal akan menghasilkan
output terbaik apapun sistem yang diadopsi.
Islamicity Index adalah data banal dan invalid bila dipakai sebagai senjata menyerang
Islamic community dan "NKRI Bersyariah".
Tidak pernah ada paralelisme antara demokrasi sebagai sistem dan kemajuan ekonomi.
Non-democratic State seperti China dan
Singapore's one-party democracy bisa kuat secara ekonomi dibanding negara demokrasi terbesar macam India yang miskin.
Selama ini, Indonesia masuk kategori elite negara
â€consumption of energy wealth state†bukan negara dengan
productive economic activity.
Ekonomi Indonesia dibangun atas ekstraksi sumber daya alam. Bukan
productive labor by the population.
Jepang, Taiwan, Korea, China mengembangkan manufaktur.
Initially low cost, low value added manufacturing dan ended up with vibrant, well-educated and diverse economies.
Natural resource-based economies tanpa memaximalkan kekuatan lokal (muslim) tidak membuat Indonesia sejahtera.
Distribusi kekayaan
unequal dan
inefisien. Gap kaya-miskin melebar. Lebih parah dari Era Orde Baru. "Kebahagiaan" hanya dinikmati segelintir elite; hasil dari patronase politik dan kolaborasi keji antara penguasa dan pengusaha.
Pemerintah menghabiskan dana dalam berbagai proyek transportasi dan infrastruktur yang tidak lebih berarti dari
building empty skyscraper in the desert.
Berbagai investasi itu tidak secara nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lebih berfungsi sebagai cara orang-orang kaya
to store wealth generated elsewhere, as a form of regulatory arbitrage.
Lebih gila,
most labor diimpor
to build buildings dan
operate company. Labor from china, akuntant dari Philipina,
engineers dan arsitek dari Inggris.
Indonesia yang subur terlena dalam apa yang disebut
“resource curse†atau
â€Dutch diseaseâ€.
Subur dan kaya sumber daya alam tapi rakyatnya miskin. Nggak heran bila menurut Denny JA, index kebahagiaan rakyat Indonesia di bawah urutan 50.
Karena itu, rezim Jokowi harus ditumbangkan di Pilpres April 2019. Sehingga the new platform "Indonesia Adil Makmur" bisa diimplementasikan dan dioperasikan oleh orang-orang baru.
[***]
Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak)