Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jebakan Politik Simpanse

Menonton Sinetron Politik Indonesia (Bag. 2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Kamis, 29 November 2018, 14:58 WIB
Jebakan Politik Simpanse
simpanse/Net
HARI ini sudah memasuki bulan ketiga diresmikannya masa kampanye partai politik peserta Pemilu 2019. Apa yang terjadi? Masyarakat belum tersentuh dengan fabrikasi narasi sarat pencerahan para aktor politik yang mengisyaratkan  tekad siap kalah dan siap menang.

Alih-alih bernuansa damai, setuju atau tidak nyatanya diksi genderuwo telah menjadi bahan bakar di atas rumput kering ketegangan politik. Membelah rakyat ke dalam dua kubu kontestan paslon capres dan cawapres Pemilu 2109: Berseteru dan berhadap-hadapan!

Selain genderuwo ada pula mahluk lain yang dinilai piawai berperilaku yang dapat menjadi inspirasi berpolitik, yaitu  rumpun primata yang bernama simpanse. Wujud fisik simpanse tidak ada bedanya dengan manusia.

Selain memiliki dua tangan dan kaki primata itu juga memiliki susunan panca indra yang tidak beda dengan manusia. Kelompok simpanse ini menggemari juga minuman beralkohol. Mampu tersenyum dan tertawa geli seperti manusia. Bahkan punya persamaan catatan buruk dalam hal perilaku kekerasan seksual.

Simpanse rupanya memiliki juga kiat politik yang terkesan lebih halus, akan tetapi daya rusaknya sangat dahsyat. Mungkin melebihi yang ditimbulkan sang genderuwo.

Prof. James Tilley, yang juga professor politik dari Oxford, Britania Raya, Inggris menemukan beberapa kiat simpanse yang dapat dipelajari agar dapat menunjang tingkah laku berpolitik para politisi.

Menurut Tilley, setidaknya ada lima kelakuan komunitas simpanse yang dapat diadopsi politisi siapapun dia dan dari negeri manapun mereka.

Pertama, dianjurkan menggunakan taktik, "tetap akrab dengan teman, tetapi lebih bersahabat lagi dengan para musuh".  Politik simpanse adalah persekutuan yang terus berubah. Mampu menjadi pemimpin yang dibarengi dengan watak "seseorang politisi harus siap meninggalkan teman dan bersekutu dengan para musuh". Sebagian besar persekutuan adalah karena asas saling menguntungkan, bukan karena persahabatan.

Langkah kedua, "ketika membina persekutuan pilih pihak yang lemah bukannya yang kuat". Teman setara berarti sama-sama berbagi keuntungan. Namun dengan kecerdasannya simpanse cenderung membentuk apa yang disebut  "persekutuan kemenangan minimal".

Cara itu bermakna, dua simpanse lemah akan mengerubuti satu ekor yang kuat. Bukannya satu simpanse lemah bersekutu dengan yang kuat. Dalilnya, "jika saya bersekutu dengan yang lemah, pembagian keuntungan akan lebih menguntungkan saya, dibandingkan berteman dengan yang kuat" urai Prof. Tilly.

Taktik ketiga adalah prinsip, "baik jika ditakuti, tetapi lebih baik disukai". Itu sebabnya di dalam perpolitikan adalah berguna untuk menjadi populer. Para pemimpin simpanse adalah yang paling ditakuti dan berkuasa dengan menggunakan kekuatan. Tetapi pemimpin seperti ini tidak akan bertahan lama. Untuk menjadi pemimpin yang sukses  perlu mengembangkan dukungan dan persekutuan di antara masyarakat umum. Namun jangan lupa tekanannya kepada "paduan kelembutan dan ketegasan adalah kuncinya".

Pelajaran keempat Tilly menyebut, "baik jika disukai, tetapi lebih baik lagi jika dapat memberikan sesuatu yang membangun citra kepedulian". Rasionalnya adalah "pemimpin yang bertahan paling lama, adalah yang dapat menghimpun sumber daya dan menggunakannya untuk mendapatkan dukungan".

Resep kelima, "ancaman dari luar dapat meningkatkan dukungan (jika ancaman tersebut memang nyata). Tidak ada hal lain yang dapat mempererat kelompok selain ancaman musuh bersama. Ketika menghadapi ancaman dari luar, kelompok primata bergabung dan melupakan perseteruan di dalam. Dalam masyarakat manusia ditemukan resep politik yang mudah dan murah yang sama dengan itu, yaitu "ciptakan asumsi dan narasi aneh seakan-akan ada serangan fitnah dan adu domba dari kompetitor".

Akan tetapi, apapun alasannya adaptasi perilaku kedua mahluk itu ke dalam budaya perpolitikan manusia harus dihentikan. Karena cara-cara seperti itu hanya akan mendorong terjadinya proses pembusukan peradaban.  Pembusukan peradaban identik dengan mendegradasi dimensi konstruktif proses demokratisasi. Oleh karenanya  segala upaya sosialisasi karakater kedua mahluk itu harus ditolak. Adalah demokrasi yang sehat yang perlu dibangun. Tentunya yang berkeadaban.

Langkah penolakan yang dimaksud harus bermula dan bertumpu  dari kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan di dalam sistem demokrasi. Mahkamah rakyat adalah benteng terdepan melindungi peradaban dari pelongsoran sekaligus memotong praktik rekayasa regulasi dengan menunggangi  demokrasi.

Di dalam konteks menyehatkan kembali environment atau iklim demokrasi, sepatutnya haruslah ada langkah konkret mendorong secepatnya revitalisasi fungsional partai politik. Konsolidasi kekuatan rakyat sejatinya harus tampil memberi peta jalan. Sangat berbahaya manakala perilaku kedua mahluk itu meresap ke dalam praktik kekuasaan.

Mahkamah rakyat yang hadir dalam siklus lima tahunan pilkada dan pemilu adalah forum peradilan kultural untuk menghukum wakil rakyat yang tidak amanah. Soalnya, akhir-akhir ini sebahagian besar warga masyarakat sudah mulai galau dan resah merasakan gejala melemahnya kinerja wakil rakyat selaku penyalur aspirasi rakyat. Semangat wakil rakyat itu seperti sedang lesu darah akibat virus konspirasi pragmatistik (korupsi).

Merujuk kepada kegagalan pencapaian target program legislasi dari priode ke priode di Senayan dan diperparah dengan berulang-ulang kosongnya ruang sidang, membuat bangsa ini bagaikan kapal besar berlayar di tengah samudera luas tanpa kompas.

Oleh karena itu, diharapkan sangat agar supaya mata dan hati rakyat perlu lebih melotot lagi menyoroti temuan Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) yang di dalam rilisnya (14/9/2018) menyebutkan ada data 94 persen atau 529 dari 560 bacaleg DPR petahana kembali nyaleg.

Membiarkan gejala impotensi lembaga penyalur aspirasi rakyat ini berkelanjutan, pastinya akan memudahkan terjadinya pelanggaran dalam bentuk; rusaknya norma demokrasi; terbiarkannya praktik politisasi hukum; tutup mata terhadap merebaknya budaya politik sandera; bersifat acuh atas kebijakan pemberangusan oposisi akar rumput dan terlegitimasinya secara masif korupsi uang rakyat.

Dengan demikian, wajar manakala rakyat menuntut perlunya perubahan secepatnya tata krama berpolitik yang lebih mengedepankan nilai moralitas sebagai jantung pengabdian.

Momentum Pemilu 2019 adalah tempat yang paling tepat memulai membangun dasar-dasar Indonesia yang lebih  berkeadaban. Bangsa besar ini harus didorong secepatnya keluar dari jebakan berpolitik ala simpanse. [***]

Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA