“Akibat PP 78/2015, hak serikat buruh untuk berunding tidak ada,†ujar Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam diskusi bertajuk ‘Pembangunan untuk Kepentingan Rakyat Vs Pembangunan Neoliberal IMF dan Bank Dunia’ di komplek DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (28/9).
Menurutnya, penghapusan itu merupakan buntut dari tekanan IMF dan Bank Dunia. Tekanan ini, sambungnya, akan membawa bahaya bagi kehidupan buruh dan ekonomi nasional.
Dia kemudian membandingkan dengan era Presiden Soeharto. Kata dia, di era Soeharto yang disebut sebagai era otoriter, hak berunding serikat buruh tidak dihapus.
Kala itu, sambung dia, Soeharto memang membuat Dewan Pengupahan, yang oleh buruh dianggap sebagai sikap otoriter. Akan tetap, hak berunding masih ada.
Berbeda dengan zaman Joko Widodo, buruh tidak diberi ruang untuk berunding tentang pengupahan.
“Walaupun dulu ada Dewan Pengupahan, itu saja yang kami anggap otoriter tapi hak berunding masih ada. Tapi sekarang dihapus,†bebernya.
[ian]
BERITA TERKAIT: