"Belakangan ini beredar sirkuler yang menyebutkan nama saya dan tulisan saya dengan framing politik tingkat tinggi," kata Yudi Latif, Sabtu (1/9).
Pertama, ada sirkuler yang menyebutkan bahwa dia akan menjadi pembicara dalam road show Gerakan Selamatkan Indonesia (GSI). Diketahui, GSI adalah perkumpulan yang dipimpin oleh aktivis Ratna Sarumpaet yang sering melemparkan kritik pedas kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Atas itu, Yudi Latif menerangkan, dia tidak pernah dikontak atau diminta persetujuan panitia untuk kepentingan acara itu. Alhasil, ia tidak tahu-menahu dan tidak bertanggung jawab soal kegiatan tersebut.
Kedua, beredar tulisan yang mengatasnamakan dirinya dengan berbagai versi judul. Antara lain: Jokowi Membawa Arus Besar Anti-Intelektualisme, Analisa Yudi Latief, Puisi Zaman Keraguan, Serangan Balik Yudi Latif, tanpa menyebutkan sumber otentik dan tanggal pemuatan dari tulisan tersebut.
Tulisan tersebut juga ada yang merupakan fragmen tulisan dengan tambahan komentar, ada pula versi yang lengkap dengan judul yang sudah diubah.
Klarifikasi Yudi Latif, tulisan dengan beragam judul dan versi tersebut sebenarnya bersumber dari tulisannya berjudul "Negara Sengkarut Pikir". Tulisan itu dimuat oleh
Harian Kompas pada 2 Februari 2015.
"Itulah satu-satunya media yang saya kirimi artikel tersebut, dan setelah itu tak satupun ada media yang saya kirimi lagi. Dengan demikian, tulisan tersebut sudah dipublikasikan jauh sebelum musim kampanye dan tidak diproduksi untuk kepentingan serangan dalam kontestasi politik," tuturnya.
Ada konteks aktualitasnya tersendiri bagi suatu tulisan yang dipublikasikan di koran. Dan kalau dipahami secara dingin dan mendalam, kritik dalam tulisan tersebut tidak hanya diarahkan pada seseorang, melainkan pada berbagai kalangan, dalam suatu nada keprihatinan mengenai tendensi memudarnya kualitas pikir dalam kehidupan publik.
"Kritik semacam itu merupakan ekspresi reguler dari tanggung jawab intelektual. Nyaris tak ada seorang pun Presiden Indonesia yang lolos dari kritik saya. Bahkan para calon presiden pun tak luput dari kritik saya. Alhasil, kritik tidak perlu dimaknai sebagai serangan menjatuhkan," ungkapnya.
Yudi Latif mengaku, tidak keberatan dengan peredaran tulisan tersebut. Yang dikeluhkan adalah soal etika peredaran tulisan. Tulisan asli telah mengalami tambahan framing, pemenggalan, komentar, dan perubahan judul; juga tanpa menyebutkan sumber dan tanggal pemuatan tulisan tersebut, yang berpotensi melanggar hak cipta.
Praktik kurang etis seperti itu berpotensi menjatuhkan reputasi etis penulisnya. Terkesan tulisan tesebut diproduksi penulis sebagai serangan balik setelah mundur dari jabatan politik. Padahal, jabatan politik bukanlah sesuatu yang istimewa, sehingga apapun yang pernah dialami, mundur dari suatu jabatan tidaklah perlu disertai serangan terbuka terhadap mantan atasannya.
"Tapi, dalam kehidupan publik yang mengalami kemunduran etika, tampaknya ada tambahan pekerjaan bagi para pekerja intelektual: kerja klarifikasi," demikian Yudi Latif.
[rus]