Tetapi, berpotensi menambah beban bagi realisasi slogan Nawa Cita pada masa pemerintahan kedua jika Jokowi terpilih pada Pilpres 2019
"Jokowi harus memastikan politik kebangsaan dan kenegaraan ada di atas politik elektoral dan kekuasaan. Pembuktian politik tersebut harus segera dilakukan oleh presiden di sisa periode pertama pemerintahannya. Caranya, terus mengakselerasi harmonisasi perundangan-undangan,†kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam keterangan persnya, Senin (13/8).
Dalam konteks itu, Presiden Jokowi harus menginstruksikan pencabutan beberapa regulasi ministerial yang menjadikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sumber hukum. Salah satunya, SKB tiga menteri tentang pelarangan Ahmadiyah yang mendeterminasi pelanggaran massif atas warga negara RI dari kelompok Jemaat Ahmadiyah dalam lebih dari satu dekade.
Setara Institute mencatat Ma’ruf sebagai aktor kunci beberapa fatwa MUI yang mendorong meluasnya intoleransi, dan memberikan energi bagi pelanggaran hak-hak konstitusional minoritas oleh kelompok-kelompok intoleran dan vigilante. Setara mengingatkan lagi bahwa fatwa MUI yang selama ini dipimpin Ma’ruf Amin bukan sumber hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan RI.
Bonar berpendapat, kesediaan Ma’ruf Amin untuk menjadi cawapres Jokowi harus disertai kehendak untuk berjalan seiring dengan langgam politik Jokowi dan realisasi ide-ide politik kebangsaan dalam dokumen politik Nawa Cita yang hingga saat ini masih jauh dari ideal.
"Ma’ruf Amin harus ikut mendorong realisasi cita-cita politik Jokowi dalam pemenuhan dan pemajuan hak seluruh warga negara, terutama kelompok minoritas keagamaan dan kelompok-kelompok rentan pelanggaran HAM,†tegas Bonar.
[ald]
BERITA TERKAIT: