Di awal penanganan perkara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Eni langsung berstatus tersangka bersama pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
“Tentu sangat disayangkan perilaku korup yang dilakukan anggota dewan terhormat itu. Harusnya mereka menjadi contoh baik bagi rakyat, tapi malah korupsi,†ujar pengamat politik dari Universitas Mercu Buana, Maksimus Ramses Lalongkoe, kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (15/7)
Menurut Maksimus, kasus dugaan korupsi yang melibatkan Eni adalah bukti dari sifat tamak anggota DPR. Mereka tidak memikirkan rakyat yang seharusnya disejahterakan.
"Saya pikir mereka itu sudah tamak sebab mereka sudah diberikan gaji besar dengan berbagai fasilitas yang didapat. Seharusnya konsentrasi mengurus rakyat, malah sibuk memperkaya diri melalui korupsi,†jelasnya.
Diduga, Eni menerima Rp 500 juta yang merupakan bagian komitmen jatah 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau-1.
Eni diduga telah empat kali menerima uang dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, yang nilai totalnya sekitar Rp 4,8 miliar.
Pemberian pertama pada Desember 2017 sebesar Rp 2 miliar, kedua Maret 2018 sebesar Rp 2 miliar dan ketiga 8 Juni Rp 300 juta. Uang tersebut diberikan melalui staf dan keluarga. Eni berperan untuk memuluskan proses penandatanganan kerjasama terkait PLTU Riau-1.
KPK telah menyita barang bukti Rp 500 juta dan dokumen tanda terima.
Sebagai yerduga penerima, Eni Maulani Saragih disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
Sementara sebagai pihak pemberi, Johannes disangka melanggar pasal melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.
[ald]
BERITA TERKAIT: