Keringnya Narasi Besar Kepemimpinan Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/inggar-saputra-5'>INGGAR SAPUTRA</a>
OLEH: INGGAR SAPUTRA
  • Jumat, 04 Mei 2018, 18:32 WIB
Keringnya Narasi Besar Kepemimpinan Indonesia
Ilustrasi/Net
PERHELATAN akbar Pemilihan Presiden tinggal setahun lagi. Semua tim sukses sibuk bergerak mengenalkan calon yang diusungnya ke masyarakat. Partai politik tidak ketinggalan sibuk, memilih dan memilah calon yang tepat untuk diusung jadi capres. Syaratnya sibuk juga dibuat, mulai dari elektabilitas yang tinggi, memiliki kekuatan finansial yang cukup dan tentunya siap menyukseskan program partai politik yang bersangkutan.

Mengusung calon pemimpin Indonesia lima tahun mendatang jelas bukan seperti mengusung barang dagangan di pasar. Transaksi politik terlalu rumit, karena memiliki banyak indikator yang harus dipenuhi antara partai pengusung dan aktor politik. Suara bawah meski kadang lebih sering dicuekin dalam beberapa kasus harus pula menjadi bahan pertimbangan mengusung capres. Itu semua tentu harus dilengkapi elektabilitas calon presiden dan kesungguhan hati terkait biaya politik yang besar untuk maju jadi orang nomor satu di negeri ini.

Mengingat rumitnya persyaratan menjadi capres, wajar jika partai politik lebih memilih jalur aman. Perbedaan sekat ideologis buyar sudah ketika dihadapkan kondisi pragmatis medan politik yang keras dan penuh tantangan. Sebagian partai bahkan sekarang sudah hampir mengibarkan bendera putih dengan memilih menjadi cawapres. Ini menyusul dinilai kuatnya calon petahana, Presiden Joko Widodo dalam bursa kandidat pilpres 2019. Sehingga pilihan logis adalah berburu posisi nomor dua daripada tidak mendapatkan peluang berkuasa sama sekali.

Narasi Pemimpin Bangsa

Kesulitan kita mencari pemimpin bangsa ternyata berawal dari keringnya narasi kepemimpinan bangsa ini ke depan. Mereka yang berebut kursi panas kepemimpinan nasional 2019-2024 lebih sibuk memikirkan bagaimana ongkos politik, kendaraan politik dan bagaimana meningkatkan elektabilitas dengan politik pencitraan. Belum terlihat sama sekali upaya menciptakan narasi besar yang bertumpu bagaimana wajah Indonesia di masa mendatang. Padahal narasi besar adalah bentuk perwajahan seorang pemimpin dalam memandang diri, negara dan lingkungan strategisnya.

Pasca Indonesia memperoleh kemerdekaan, Soekarno mengajak setiap elemen anak bangsa bagaimana membangkitkan semangat revolusioner untuk mencapai kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Dengan keyakinan yang mantap, jargon nasionalisme muncul di hadapan publik, mengajak mereka berdiskusi sekaligus mengimplementasikan bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Di banyak kesempatan Soekarno juga menggulirkan pidato penuh semangat dan gagasan-gagasan besar agar Indonesia menjadi negara yang mampu memimpin dunia. Tidak berlebihan jika akhirnya, Soekarno disebut Bapak Revolusi Indonesia.

Gagasan besar Soekarno yang berlandaskan politik dan pembangunan karakter bangsa kemudian diluruskan pada masa kepemimpinan Orde Baru. Soeharto menelurkan gagasan pembangunan ekonomi yang bertumpu kepada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan banyak ekonom dalam membangun Indonesia. Orde Baru mengutamakan pembangunan negara kesejahteraa dan mengabaikan kebebasan sebagai akar kehidupan yang demokratis. Sejarah akhirnya mencatat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan dimana pencapaian tertinggi swasembada beras berhasil dicapainya dan murahnya biaya hidup, meski harus berujung kejatuhan kekuasaan yang menyakitkan pada 21 Mei 1998.

Setelah dua masa kepemimpinan itu usai, pemimpin bangsa mulai menyatukan narasi kepemimpinan demokrasi dan kesejahteraan yang ditandai pada masa reformasi. Habibie memimpin Indonesia pada era awal reformasi dengan berusaha mengembangkan teknologi dirgantara, mencegah kebangkrutan ekonomi akibat krisis moneter dan menstabilkan kondisi perpolitikan nasional. Sebutan "Bapak Teknologi" pantas disandang Habibie berkat beberapa inovasi kebijakan percepatan pembangunan teknologi dan kebijakan publiknya. Meski tetap saja ada kebijakan yang mengundang kontroversi khususnya terkait lepasnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terbangunnya koalisi poros tengah yang didominasi kekuataan politik Islam mengantarkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur-pen) menjadi pemimpin Indonesia berikutnya. Kebijakan pluralisme keagamaan seperti pengakuan kepada etnis Tionghoa dan disahkannya Konghuchu sebagai agama resmi negara muncul pada masa kepemimpinan Gus Dur. Narasi besar Gus Dur membuatnya layak disebut sebagai "Bapak Pluralisme" yang mampu menyatukan perbedaan etnis, suku dan kelompok yang ada dalam bangsa Indonesia menjadi kesatuan yang utuh. Ini tentu terlepas dari berbagai tudingan terkait keterlibatannya dalam korupsi Bullogate dan Bruneigate yang sempat mengarah kepada dirinya.

Setelah itu Megawati Soekarnoputri memimpi Indonesia yang belum terlihat sama sekali narasi besar yang dibangunnya. Justru narasi besar kepemimpinan nasional muncul di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang layak menyandang sebutan "Bapak Demokrasi". Ini ditandai dengan penganugerahan Democracy Award dari International Association of Political Consultant (IAPC) Pengakuan internasional itu menandakan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Sebuah pengakuan resmi dunia, meski secara praktek nyata masih ditemukan beberapa penyimpangan seperti maraknya kasus intoleransi (kebebasan beragama), masih ditemukannya kasus korupsi (transparansi anggaran) dan belum tuntasnya beberapa kasus pelanggaran hukum di masa lalu.

Terakhir, masa kepemimpinan Jokowi di awal kampanyenya mengedepankan pembangunan karakter bangsa dengan konsep Revolusi Mental. Konsep ini menekankan pentingnya nilai integritas, etos kerja dan gotong royong. Ketiga nilai itu tumbuh melalui kesadaran diri untuk berfikir dan bertindak positif sehingga menginternalisasi dalam karakter setiap anak bangsa. Mentalitas integritas, etos kerja dan gotong royong muncul dari budaya asli bangsa Indonesia yang bersifat fundamental dan praktis. Secara teoritik, konsep ini sangat bagus dalam menumbuhkan karakter anak bangsa meski secara implementasi kita melihat masih diperlukan kesadaran diri dan kolektif agar tidak jauh panggang dari api.

(Calon) Pemimpin Miskin Narasi

Melihat fenomena kekinian dengan semakin dekatnya ajang pergantian kepemimpinan nasional, apa narasi besar yang ditawarkan calon presiden Indonesia? Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin bangsa jangan sampai mereka sibuk menawarkan diri kepada rakyat tanpa mau memberitahu arah besar Indonesia ke depan. Kesibukan mengenalkan diri kepada publik jangan berbentuk suguhan pencitraan tanpa konsep yang jelas dalam membangun Indonesia. Sebab kepemimpinan mereka akan menentukan sejauhmana kapal besar bernama Indonesia mampu berlayar di tengah kompetisi dan kontestasi politik global.

Kelemahan narasi calon pemimpin bangsa dapat disebabkan tiga hal mendasar yaitu lemahnya orientasi kepemimpinan, minimnya penguasaan masalah nasional dan global serta lemahnya proses transaksi gagasan. Lemahnya orientasi kepemimpinan menandakan belum tercukupinya semangat dan mentalitas calon pemimpin bangsa dalam memandu masyarakat untuk menciptakan arah yang jelas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Mereka masih memikirkan kepentingan jangka pendek yang bersifat pragmatis dan mengabaikan pentingnya pemikiran strategis, jangka panjang dan visioner.

Minimnya kompetensi atas persoalan nasional dan global memperlihatkan kepada masyarakat bagaimana calon pemimpin Indonesia mendatang belum mampu merumuskan problematika dan solusi atas persoalan yang ada. Berbagai persoalan pelik bangsa seperti ancaman disintegrasi bangsa, konflik berlatar belakang agama dan kesukuan, penyelamatan asset negara dari tindakan koruptif dan merebaknya terorisme-radikalisme seharusnya mampu dijawab para calon presiden. Dalam konteks global, penempatan peran sentral Indonesia dalam regional ASEAN, sikap Indonesia terhadap ancaman kedaulatan wilayah terkait panasnya konflik Laut China Selatan dan bagaimana posisi Indonesia di tengah memanasnya persaingan negara-negara besar dunia harus jadi perhatian calon pemimpin Indonesia ke depan.

Sebagai calon pemimpin Indonesia lima tahun mendatang, jangan lagi menawarkan politik transaksional yang bertumpu kepada finansial semata sementara gagasan besar untuk Indonesia sangat kering. Kita tentu tak mengabaikan pentingnya finansial dalam kompetisi politik ke depan. Tapi terus memprioritaskan sisi finansial, tanpa mampu merumuskan arah baru kepemimpinan Indonesia sama saja menyeret publik kepada pembodohan politik dan membawa Indonesia mendekati jurang kehancuran. Berpolitik tanpa gagasan menandakan pemimpin yang tidak mau tahu dan tidak pernah tahu akan dibawa ke mana masa depan bangsa besar Indonesia. Kegagalan dalam bertransaksi gagasan juga menjelaskan kepada kita lemahnya kapasitas untuk mengelola bangsa dengan potensi besar ini, lebih asyik mengemas Indonesia untuk dijual kepada pihak asing dibandingkan mengedepankan kemandirian dan kedaulatan bangsa yang berakar dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.[***]

*Penulis adalah Pengajar Pancasila Universitas Mercubuana dan Universitas Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA