Walau hingga kini masih ada upaya-upaya jiwa kerdil yang coba menyerang kinerja mereka yang bahkan umurnya satu semesterpun belum. Namun secara umum kita menangkap kepuasan di banyak pihak, terutama karena Anies-Sandi cukup terlihat bekerja keras membenahi Jakarta seperti janji-janji kampanye mereka.
Kalau kita kilas balik, rakyat Jakarta nampak begitu lega ketika muncul dua alternatif paslon gubernur dan wakil gubernur selain pasangan petahana Ahok-Djarot.
Kehadiran pasangan AHY-Sylvi dan Anies-Sandi menjadi mata air penuntas dahaga publik Jakarta setelah sebelumnya seperti tersumbat dengan opini bahwa Ahok-Djarot akan kembali memimpin Jakarta.
Rakyat sempat frustasi dijebak dengan opini seolah Ahok-Djarot sudah berhasil memperbaiki Jakarta, padahal tak banyak yang berubah di Jakarta secara signifikan. Satu-satunya hal yang semakin tertata baik di Jakarta adalah pelayanan publik di kantor-kantor pemda hingga tingkat kelurahan, yang faktanya memang sejak tahun 1990-an perlahan tapi pasti terus ditata dan menjadi semakin baik setiap tahunnya.
Selebihnya cuma ada sumpah serapah tentang anti korupsi yang tak berujung sedikitpun kepada tertangkapnya oknum pemda pelaku korupsi karena aduan Ahok. Dengan enteng Ahok memutasi berbagai jabatan dengan alasan dugaan korupsi, tapi tak ada satupun mantan pejabat pemda sebagai terlapor, pasca mutasi tersebut. Yang ada cuma pat gulipat lahan Sumber Waras, lahan Cengkareng, reklamasi pantai Jakarta dan tukar guling kegiatan CSR para taipan.
Hingga jelang batas waktu pendaftaran paslon, Pilkada Jakarta 2017 masih penuh ketidakjelas akternatif, atas muaknya publik melihat kinerja Ahok-Djarot. Para partai politik seperti mafia demokrasi yang terus berunding tawar menawar porsi kursi legislatif Jakarta untuk bisa mengajukan pasangan calon. Dan celakanya hal itu mulai menunjukkan tanda-tanda kembali terulang untuk Pemilu Presiden 2019.
Batas waktu pendaftaran paslon presiden dan wakil presiden adalah awal Agustus 2018. Dan sampai hari ini, rakyat yang sudah jenuh dengan miskinnya prestasi Jokowi, masih terus menerus disodori opini seolah Jokowi berpeluang besar menjadi calon tunggal. Seolah yang perlu disodorkan oleh para partai hanyalah alternatif calon wakil presiden.
Padahal nyatanya rakyat sudah sangat muak dengan kinerja Jokowi yang sangat jauh dari janji-janji kampanyenya. Belum lagi respon dan etika Jokowi yang kerap di luar harapan rakyat. Rakyat galau dan marah melihat pelecehan tak perlu atas Anies Baswedan di GBK, penjelasan tentang Dilan dan industri sepatu yang bergaya jaka sembung bawa golok, bahkan rakyat terlihat prihatin karena merasa dirinya seperti sekop yang dilempar begitu saja atas segala keluh kesahnya.
Berbagai kegiatan infrastuktur dipaksa melaju dengan dana comot sana-sini dan beberapa kali berujung kepada kecelakaan kerja. Publik cenderung melihat ini cuma gara-gara ingin tampil segera meresmikan dan mengejek mangkrak pada saat konferensi media. Sesuatu yang harusnya tidak muncul di publik. Menjadi satire ketika rakyat bukan senang tapi malah mencibir ketika melihat peresmian hasil pembangunan infrastruktur.
Para parpol, KPU dan Bawaslu juga sudah waktunya untuk menghentikan pembangunan opini seolah Jokowi menjadi pasangan calon tunggal. Karena memang secara mekanisme pemilu, tidak dibolehkan adanya pasangan calon tunggal. Pasal 229 ayat 2 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, melarang terjadinya kondisi yang memaksa hanya muncul pasangan calon tunggal berdasarkan gabungan suara atau kursi, yang menyebabkan koalisi atau gabungan lainnya tidak dapat mengajukan paslon lain.
Di sisi lain bahkan menghadirkan dua paslon saja, yang artinya mengulang "head to head" seperti Pilpres 2014 juga bukan hal yang menarik bagi rakyat. Sekurang rakyat butuh kehadiran tiga pasangan calon. Sesuatu yang layak sebagai hadirnya yang namanya pesta demokrasi. Pilkada Jakarta 2017 sudah menunjukkan bahwa dengan tiga pasangan calon, tingkat partisipasi rakyat meningkat tajam. Golput tidak lagi dipandang sebagai pilihan, karena menjadi golput sudah disadari sebagai sikap tidak bertanggung jawab dalam demokrasi pancasila.
Saatnya semua parpol: PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKB, PKS, PPP, Nasdem dan Hanura, menghormati seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak memilih pada Pemilu 2019. Hormati hak demokrasi rakyat dengan memberikan alternatif. Jika UU memerintahkan minimal ada dua paslon, maka akan menjadi ideal dan sangat bermartabat, jika ada tiga paslon untuk Pemilu Presiden 2019.
Sudah waktunya rakyat "menghukum" semua partai pendukung pemerintah jika terus mencederai demokrasi. Rakyat harusnya menjadi pihak utama yang menjadi referensi rencana kerja partai politik, bukan sebaliknya menjadi bahan olahan para partai politik. Pemilu adalah pesta demokrasi rakyat, bukan pesta konspirasi partai politik
![***]
Direktur Strategi Indonesia
BERITA TERKAIT: