Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mencegah Politik Identitas 212

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ichsanuddin-noorsy-5'>ICHSANUDDIN NOORSY</a>
OLEH: ICHSANUDDIN NOORSY
  • Selasa, 05 Desember 2017, 08:10 WIB
Mencegah Politik Identitas 212
Ilustrasi/Net
SEJAK UUD 1945 diamandmen tanpa kajian akademik yang patut dan layak lalu menjadi UUD 2002, akar model politik identitas sebenarnya sudah mulai ditanam kokoh. Politik identitas, yang suka tidak suka berbasis kebebasan berdampingan dengan keterikatan, lebih menguat lagi saat ketidakadilan dirasakan sebagian besar masyarakat.

Identitas jelas merujuk deskripsi pribadi, lingkup kelas sosial, suku, agama, ras, gender, dan seksualitas. Identitas pun mencakup rasa keterwakilan, kesamaan dan, atau kehidupan yang mendominasi atau didominasi. Secara umum, identitas politik masuk pada ranah kekuatan sosial keagamaan atau lainnya, nasionalisme, regionalisme, dan globalisme. Unsur terpenting dalam identitas di sini adalah keterikatan nilai, cita-cita, semangat, dan kepentingan para subyek.

Dengan keterikatan ini, para subyek mengorganisasi diri untuk mencapai kepentingannya atau memperjuangkan aspirasinya. Produk dari pengorganisasian ini adalah perbedaan identitas dengan pihak lain. Pada rujukan keterikatan yang konsisten dengan identitasnya, politik identitas tampil menunjukkan keberadaannya. Maka antara agama dan politik hanya bisa dibedakan dalam tataran analisis, tidak dalam bergeraknya kekuatan sosial. Agama mempengaruhi penganutnya, politik mempengaruhi simpatisan dan pemilihnya.

Itulah yang saya maksud dengan UUD 2002 telah menanam akar politik identitas. Partai politik tampil leluasa mengorganisasikan keterikatan dan keterkaitan sosiologis simpatisan, pemilih dan kadernya. Kemudian mungkin memperjuangkan kepentingan parpolnya dengan atas nama rakyat. Jelas, air ketemu air, minyak ketemu minyak sehingga pemimpin terpilih adalah cerminan rakyat pemilihnya, kata banyak orang.

Dalam berbagai kajian, pengatas-namaan ini sebagai realisasi sistem perwakilan sebenarnya semu. Saya menyebutnya sebagai false representative karena sistem sosial dan sistem politik didominasi oleh kekuatan pemilik modal. Sejak pemilu 2004, kekuatan pemilik modal ini saya sebut sebagai kekuatan bandar. Dalam pemilu 2009 dan pemilu 2014, mengemuka istilah NPWP (nomer piro wani piro) atau politik uang. Sulit dipungkiri bahwa kehidupan kemasyarakatan menjadi serba transaksional material.

Jika Pemilu 1999 seorang tukang tambal ban bisa menjadi anggota dewan dan tampil sebagai ketua komisi anggaran, maka pada Pemilu 2004, 2009, 2014 hanya mereka yang bermodal yang bisa tampil sebagai calong anggota legislatif. Juga pada PilBup, Pilkot, atau Pilpres. Hanya mereka yang bisa bertransaksi dengan pemodal yang berpeluang menjadi Calon.

Situasi ini menggambarkan luluh lantaknya modal sosial. Dia tampil telanjang sejak aparat penegak hukum, elit politik, kalangan akademisi, pebisnis, sejumlah pemuka agama dan kebanyakan perempuan ikut berebut jabatan publik. Kekuasaan adalah sumber kehormatan. Kekuasaan menjadi mata air kekayaan. Dengan kekayaan, kekuasaan dibeli. Siklus kekuasaan dan kekayaan menjadi lumrah bersamaan dengan makin tergerusnya modal sosial.

Di tengah hiruk pikuk itu, muncul seorang Ahok yang divonis menista agama. Sebelum vonis ini terjadi, politik identitas mengental. Muslim di Jakarta dituding sebagai tidak toleran mengikuti label Islam di Indonesia sebagai salah satu sarang teroris. Atau umat Islam di Indonesia sebagai ekstrimis dan radikalis. Akumulasi tudingan itu dan penistaan agama menyatu disebabkan penguasa dirasakan ramah terhadap mereka yang melabelkan diri sebagai toleran dan nasionalis. Penguasa dengan jejaringnya berkampanye tentang kebhinekaan dan Pancasila. Masyarakat yang menolak Ahok diragukan sikap Pancasila-nya dan diragukan keihlasannya menghargai dan menghormati masyarakat non muslim.

Kondisi ini diperparah lagi dengan pemberitaan belasan media asing yang menuding situasi politik di Jakarta berada dalam konflik agama.

Jika berpikir mendalam atas keputusan hukum Pemerintahan yang diambil dalam rentang 1999-2009, maka keberadaan politik identitas merupakan hal wajar. Amerika Serikat saja sebagai pengekspor sistem demokrasi liberal tetap menghadapi politik identitas sebagaimana kasus Charlottesville, Virginia beberapa waktu lalu. Kasus ini menggambarkan melanggengnya keberadaan Klux Klux Klan, Supremasi Nasionalis Kulit Putih, dan ketimpangan ekonomi yang makin meningkat sejak 1986.

Lalu di mana salahnya atau tidak proporsionalnya jika kalangan masyarakat Islam mengingat tentang parpol yang mendukung penista agama. Di mana letak tidak toleran, tidak bhineka, dan sumir Pancasila jika mereka menjaga identitasnya sebagai pribadi yang beragama dan berkumpul untuk menyatakan keterikatannya pada agama?

Pertanyaan ini lahir karena terjadi “perang” pendapat tentang reuni 212 dan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di Monas. Dalam orasinya Fahri Hamzah bahkan mengharuskan hadirnya Presiden Jokowi di Monas. Fahri mungkin lupa bahwa Presiden Jokowi “menolak” hadir pada peristiwa 4 Nov 2016 dan hanya hadir selama lima menit dengan menyampaikan selamat dan terimakasih pada Aksi Bela Islam (ABI) 2 Desember 2016.

Menurut saya, ucapan Fahri bermakna ganda. Di satu sisi mengindikasikan Jokowi memang dalam perebutan antara masyarakat Islam dan masyarakat lainnya. Di sisi lain juga mengindikasikan Jokowi bukan representasi umat Islam yang pro dengan ABI. Apapun indikasinya, Fahri mengingatkan, umat Islam yang pro ABI yang akan bersama Pemerintahan jika terjadi sesuatu pada negara ini. Peringatan ini merupakan suatu hipotesa yang memosisikan Indonesia berhadapan dengan suatu kekuatan eksternal dan internal dalam strategi kuno : politik adu domba.

Bagi saya bukan siapa yang hendak direpresentasikan Jokowi, bukan juga potensi ancaman eksternal dan internal (baca disintegrasi, yang saya urai sebagai “Bangsa Terbelah") tetapi lebih pada persoalan, apakah kita senang dan bangga dengan sejumlah kajian pihak konsultan asing dan Bank Dunia bahwa Indonesia akan menjadi salah satu lima besar ekonomi dunia di tahun 2030-2040? Apakah kita mau berpikir lebih mendalam tentang Persatuan Indonesia jika politik identitas yang tumbuh berkembang justru membuahkan rasa dendam sosial politik seperti yang terjadi di Barat?

Adakah kita sadar bahwa liberalnya individu yang dianut dalam demokrasi Barat yang dikaji kaum intelektual Barat sendiri adalah identik dengan mental disorder? Lihatlah Panama Papers dan Paradise Papers sebagai bagian dari produk kebebasan keuangan di dunia yang mereka sendiri pusing mengaturnya.

Lalu jika politik identitas 212 beraroma politik, tidakkah hal itu juga menunjukkan bahwa parpol Islam telah gagal memerankan tupoksinya, sekaligus kegagalan umat Islam dalam menjaga negara ini konsisten dengan sistem nilai yang diperjuangkan dalam UUD 1945? Dua pertanyaan ini paling tidak memuat tentang kegagalan sistem dan kegagalan kepemimpinan nasional yang seharusnya mengawal dan menjaga tegaknya kemerdekaan RI berdasarkan nilai-nilai, cita-cita, dan semangat perjuangannya.

Adakah yang situasi kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini menunjukkan sikap komitmen dan konsisten dengan hal itu?

Kelompok pendukung ABI pun menjawab, sejarah perjuangan dan upaya mempertahankan kemerdekaan RI adalah sejarah perjuangan para ulama yang didukung penuh oleh jama’ahnya. Kelompok penuding intoleran dan non muslim pun membuktikan, bukan hanya umat Islam yang berjuang. Kuatir tirai pembeda itu makin jelas, reuni 212 pun dituding berkaitan erat dengan 2018 dan 2019. Tudingan ini pun tidak salah karena sistem politiknya membenarkan. Pelaksanaan hukumnya pun membuktikan adanya kekuatan yang mengkooptasi penegakkan hukum.

Pembelaan atas tudingan, atau pembenaran atas sikap masing-masing politik identitas akhirnya akan diuji pada Pilkada Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara Pilkada di DKI dan Banten memberi petunjuk kepada penguasa, politik identitas 212 bisa meluluh lantakkan kekuatan modal. Penguasa kuatir dengan bayang-bayang yang diciptakannya, yakni bayang-bayang akan pentingnya kebhinekaan, toleransi, ekstrimitas, dan radikalis.

Politik pemberian label siapa pahlawan siapa penghianat, siapa jujur siapa koruptor, siapa nasionalis siapa agamis dan label-label lain akan berhamburan mengemuka sebagai wujud komunikasi politik identitas itu sendiri. Tak ada yang harus dihindari jika kita menerapkan demokrasi liberal seperti ini. Toh paham intinya suara terbanyak, dan suara masyarakat Islam yang terbanyak secara nasional. Tak perlu mencegah sepanjang sistemnya begini. Mencegah politik identitas malah membuktikan penguasa sedang menerapkan multiple suitable standard.

Maka yang dibutuhkan sikap kenegarawanan agar Pancasila sedikit membumi, dan tidak diterjemahkan dalam sudut pandang penguasa.[***]


Pengamat ekonomi-politik dan kebijakan publik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA