Sikap KPK mendukung saran Mahfud Cs itu disampaikan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, di kantornya, kemarin. Dia bilang, pihaknya sudah membahas berbagai masukan dari para ahli hukum tata negara terkait bergulirnya Hak Angket di DPR. Termasuk kajian dan saran dari eks ketua MK Mahfud MD bersama 132 pengajar yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negata (APHTN-HAM). "Seluruh pimpinan KPK sudah satu suara, kami sudah bulat soal hak angket, kami setuju dengan kajian para ahli," kata Laode.
Karena itu, Laode mengatakan, pihaknya tak akan memenuhi keinginan Pansus DPR.
Termasuk mengizinkan Miryam S Haryani agar hadir di rapat Pansus. Miryam saat ini menjadi tersangka kasus keterangan palsu terkait kasus e-KTP dan ditahan di Rutan KPK.
Laode mengatakan, KPK akan mengikuti saran para dosen yang menilai, pengguliran angket dan pembentukan pansus cacat hukum. "Untuk sementara kami lakukan seperti yang diusulkan perhimpunan asosiasi pengajar hukum dan tata negara. Karena itu yang ditandatangani semua pakar di Indonesia, jadi saya pikir pemikirannya valid," kata Laode.
Sehari sebelumnya, Ketua APHTN-HAM Mahfud MD memang menyarankan KPK tak memenuhi permintaan Pansus. Pasalnya, Mahfud beralasan hak angket yang bergulir di DPR cacat hukum.
Dukungan terhadap KPK terus berdatangan. Kemarin, dukungan datang dari para seniman dan budayawan yang menggelar aksi di halaman depan gedung KPK. Rombongan aksi ini dipimpin oleh Sys NS. Beberapa seniman yang hadir di antaranya Roy Marten dan Jajang C Noer. Ada juga Arswendo Atmowiloto dan Harry Tjahjono.
Massa yang hadir ini mengenakan atribut serba merah-putih. Mereka juga membawa spanduk yang bertuliskan penolakan terhadap hak angket. Aksi juga diisi dengan menuliskan testimoni di kain putih sepanjang lebih kurang 10 meter.
Ketua KPK Agus Rahardjo yang menemui tampak sumringah dengan dukungan ini dan mengucapkan terima kasih. Dia berjanji, akan menjaga amanah yang diberikan rakyat pada KPK dengan mempercepat penuntasan kasus korupsi. "Tuhan pasti melindungi kita," tutur Agus.
Keputusan KPK ini membuat geram kubu Senayan. Wakil Ketua Pansus Angket Risa Mariska geleng-geleng dengan sikap KPK. Dia heran terhadap sikap KPK yang tidak menerima masukan dari luar. Jika masukan tersebut menguntungkan, maka diambil.
"Mereka hanya mau menerima yang dari lingkungan mereka, yang mendukung mereka, sisanya mereka nggak mau tahu," kata Risa di gedung DPR, kemarin. Politikus asal PDIP tersebut meminta KPK lebih bijak menerima kritikan. Ia tak ingin KPK jadi lembaga anti-kritik.
Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman turut menyesalkan keputusan KPK. Apalagi menurut dia, sikap akademik yang disampaikan dosen hukum tata negara itu diambil berdasarkan informasi dan data yang keliru tentang ide lahir dan usul untuk DPR menggunakan hak angket terhadap kinerja KPK.
Benny mengatakan sikap akademik itu sarat dengan tafsir sepihak dan subjektif atas berbagai peraturan yang menjadi dasar yuridis penggunaan hak angket tersebut oleh DPR. Malah ia melihat, sikap akademik itu disemangati oleh pikiran segelintir orang yang beranggapan bahwa hak angket dibuat untuk mengintervensi KPK. "Jelas ini logika sesat!" kata Benny, kemarin.
Menurut Benny, hak angket merupakan hak DPR yang konstitusional sebagai perkakas rakyat untuk mengontrol kerja KPK secara politik. Hal itu dilakukan DPR untuk memastikan apakah KPK telah tebang pilih atau tidak, dalam pemberantasan korupsi.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra ikutan heran dengan sikap KPK. Dia menyarankan sebaiknya KPK memberikan contoh yang baik terhadap penegakan hukum. Jika KPK bersikap tidak patuh hukum, dikhawatirkan sikap ini akan ditiru pihak yang terkait dengan KPK.
"Nanti kalau ada orang dipanggil KPK, orang konsultasi juga kepada MA, kepada yang lain, perlu hadir nggak nih mau dipanggil KPK. Itu kan tidak baik dari segi penegakan hukum," kata Yusril, dalam keterangannya, kemarin.
Eks Menteri Kehakiman ini menjelaskan, Pansus Angket merupakan hak DPR. DPR adalah salah satu lembaga negara, yang mempunyai wewenang untuk melakukan angket terhadap dua hal. Pertama, terhadap kebijakan pemerintah. Kedua, terhadap pelaksanaan suatu undang undang.
"KPK itu bukan bagian dari pemerintah. Tapi kalau dilihat dari segi tugas KPK itu adalah sebagai aparat penegakan hukum, tapi bukan dalam ranah yudikatif. Status dia sama seperti Kejagung, sama seperti polisi. Bedanya, polisi dan Kejagung ada di bawah Presiden. KPK itu suatu lembaga yang sebenarnya eksekutif juga ranahnya, cuma dia tidak berada di bawah Presiden," jelasnya.
Dengan demikian, tidak benar jika ada anggapan Pansus Angket tidak tepat dilakukan kepada KPK. "Karena itu, dia tetap dapat dilakukan penyelidikan misal terhadap pelaksanan undang undang. Jadi jangan difokuskan kepada persoalan Miryam saja. Itu hanya soal kecil saja. Tapi pelaksanaan undang-undang," ujarnya.
Disisi lain, UU KPK dibentuk pemerintah bersama DPR. UU itu, sudah berlaku lama sejak tahun 2002. Sehingga wajar setelah sekian lama DPR merasa perlu menyelidiki apakah pelaksanaan tugas KPK telah sesuai dengan UU yang dibuat dulu.
"Setelah itu akan ada saran dan rekomendasi. Jadi kita lihat saja ini sebagai tugas yang normal. Jadi bukan dilihat tugas ini mau memperlemah KPK. Kenapa harus berpikiran seperti itu. Sebagai satu lembaga yang telah diputuskan dalam paripurna akan dilakukan angket, sudah dihadapi saja. Kalau KPK merasa tidak puas terhadap hak angket itu, KPK bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Sama seperti orang dinyatakan tersangka oleh KPK dia kan bisa mempersoalkan melalui praperadilan," tuturnya. ***
BERITA TERKAIT: