Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Siapa Menggoyang Kebhinnekaan?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Senin, 29 Mei 2017, 23:14 WIB
Siapa Menggoyang Kebhinnekaan?
Zainal Bintang/net
GERAKAN menggoyang kebinekaan diakui pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menganggap bangsa Indonesia tengah dilanda kegalauan karena munculnya gerakan-gerakan yang merusak kebinekaan.

"Ada kelompok yang terang-terangan menyatakan bahwa mereka tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Ada satu kegalauan menghadapi kondisi sekarang, kebhinnekaan kita terancam dengan beberapa perkembangan situasi," ujar Wiranto di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Sabtu (27/5/2017), seperti dikutip media.

Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, suku-suku, agama, budaya, ras dan golongan pada akhirnya mampu mengindonesiakan Pancasila karena adanya konsensus nasional. Masaalah perbedaan agama yang sensitif berhasil mencapai kesepakatan. Tokoh-tokoh agama  bersepakat menerima dan merawat kebhinnekaan demi untuk kepentingan (bangsa) yang lebih besar ke depan.

Kebhinnekaan itulah yang menjadi elemen utama tegaknya  Pancasila. Dengan kata lain kebhinnekaan adalah rohnya Pancasila. Jika kita menyoal Pancasila sebagai ideologi negara, mau tidak mau hal itu menyeret ingatan kepada benang merah sejarah kelahiran Pancasila.

Bagaimanapun juga, tidak dapat dilepaskan keberadaan Piagam Jakarta di awal dimulainya proses persiapan kemerdekaan pada bulan Juni 1945. Piagam Jakarta merupakan dokumen historis berupa kompromi antara pihak Islam dan pihak kebangsaan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), guna menjembatani perbedaan antara agama dan negara. Piagam Jakarta juga disebut "Jakarta Charter".

Peristiwa sejarah tersebut di atas menegaskan, persepakatan memilih Pancasila merupakan faktor kekuatan bangsa. Tapi pada saat yang bersamaan bisa juga menjadi titik lemah yang rentan perongrongan. Sebelum Pancasila disepakati seluruh silanya yang saat ini kita kenal, pada mulanya sila pertama berbunyi : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan sjariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Setelah sempat mengundang debat dan diskusi yang cukup keras para tokoh BPUPKI, maka disepakatilah sila pertama menjadi : Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tokoh-tokoh dari bagian Timur Indonesia meminta dalam perumusan ideologi negara, jangan ada suatu agama tertentu yang dominan.  Dan tokoh para pendiri bangsa termasuk yang Islam sepakat. Prinsip sama rata sama rasa, dan senasib sepenanggungan sangat kental menjadi elemen strategis terjadinya permanenisasi keindonesiaan. Jadi melalui jalan kesepakatanlah maka para tokoh pendiri bangsa menerima Pancasila yang boleh dikata "independen" itu.

Sejarah proses mengindonesiakan Pancasila tidak mudah. Didalamnya terdapat kerikil tajam yang sewaktu �" waktu menjadi faktor pengganggu di mana syariat Islam bawaan Piagam Jakarta berulang kali dimunculkan. Seperti diketahui hakikat sila pertama Piagam Jakarta, mengedepankan syariat Islam sebagai ideologi, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam.

Dalam perjalanan sejarah, ada saja kelompok yang terang-terangan menyatakan bahwa mereka tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Suatu bentuk kekecewaan situasional dan fragmentaris terus membayangi. Impian kesejahteraan yang dijanjikan kebinekaan  tidak kunjung hadir.

"Ada satu kegalauan menghadapi kondisi sekarang, kebinekaan kita terancam dengan beberapa perkembangan situasi," seperti kata Wiranto.
    
Gerakan yang mulai marak di masyarakat dalam bentuk  merongrong kebhinnekaan, sangat mudah menemukan pintu masuk. Diantaranya lebarnya kesenjangan sosial ekonomi di tengah masyarakat. Jurang yang  menganga antara  si kaya (konglomerat) dengan si miskin sangat kasat mata dan melukai kebhinnekaan. Pemandangan yang menyiratkan ketidak adilan itu lama kelamaan, dianggap sebagai kegagalan Pancasila sebagai ideologi negara.

Pada masa Orde Lama, pemberontakan DI/TII yang mengusung ideologi negara Islam menandai rentannya Pancasila. Di dalamnya terselip pesan tidak bulatnya sebagian umat Islam menerima Pancasila. Hasil Pemilu 1955 yang menempatkan PKI (Partai Komunis Indonesia)  sebagai empat besar setelah PNI , Masyumi dan NU menyulut kehawatiran menguatnya faham komunis yang ditengarai akan mendegradasi Pancasila.

Bung Karno yang superpower dengan predikat proklamator  menggebuk setiap musuh Pancasila.  Dia melakukan terobosan politik mengumumkan Dekrit 5 Juli tahun 1959. Kembali ke UUD 1945. Bung Karno mencoba mengelola kebinekaan dengan mengakomodasi PKI dalam wadah yang bernama Nasakom. Hanya enam tahun kemudian Nasakom sebagai hasil kawin paksa ideologi yang paradoksal itu, melahirkan anak haram yang bernama "Pemberontakan G30S/PKI".

Jejak  panjang sejarah merawat Pancasila menunjukkan indikasi tak hentinya ancaman menyertainya. Frasa pada sila pertama, yang  dianggap sangat prinspil itu, menegaskan tingginya toleransi dan pengorbanan  umat Islam untuk mewujudkan kebinekaan. Untuk menjaga negeri ini, sikap akomodatif mengemuka.   

Perubahan sila pertama adalah pertanda cinta umat Islam kepada penganut agama lain. Tujuannya agar dapat bergandengan tangan di dalam satu perahu besar yang bernama Indonesia.  Tanpa terintegrasinya bunga rampai elemen bangsa Indonesia ke dalam suatu koridor dasar negara, tidak mungkin ada yang bernama Indonesia.
   
Pada sisi lain, tujuan pengorbanan tentunya lahirnya kemaslahatan bersama. Sebagaimana terjanjikan sebagai nafas integrasi lintas elemen. Namun faktanya, dalam beberapa ukuran tertentu janji kebinekaan tidak menjadi kenyataan. Dua fenomena  inilah yang menjadi paradox yang terus tumbuh membayang-bayangi perjalanan bangsa  ini. Seolah-olah menginteli Pancasila.

Pada masa pemerintahan Orde Baru.keberadaan Pancasila dicoba dilindungi oleh Soeharto.  Melalui keharusan seluruh rakyat mengikuti P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasatya Pancakarsa.  Akan tetapi, Pancasila dengan sila-sila yang berdiri kaku sebagai doktrin, tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi ketidakadilan dan kemiskinan yang merangkak naik dari hari ke hari.
   
Yang membuat situasi sering menjadi meruncing karena adanya politisasi mengiringi gerakan tersebut. Umat Islam yang tertimpa tuduhan merongrong  Pancasila, karena dikaitkan dengan perubahan isi Piagam Jakarta yang ditiupkan seolah-olah hanya diterima dengan setengah hati. Di era pemerintahan Jokowi �" JK persoalan ancaman kebinekaan yang menggoyang Pancasila mencuat lagi, sebagaimana diawal dikemukakan Wiranto.
   
Bermunculan pergerakan ormas "baru" Islam  yang berteriak sangat lantang menyuarakan kekecewaan akar  rumput atas kesenjangan ekonomi yang semakin menganga. Sayangnya ormas besar keagamaan yang sudah mapan, kurang mampu membaca "penderitaan" apa yang menggerakkan  protes itu. Bahkan dalam banyak kasus, terlihat  ormas besar keagamaan berdiri paling depan menjadi alat pemukul pemeritah.

Tidak mengherankan jika kemudian gerakan Islam "baru", yang lepas dari seragam kedua ormas Islam besar itu makin nyaring menggugat ketidakadilan.  Mereka merintis jalan sendiri. Membangun isu �" isu tersendiri untuk mengirim pesan ketidak puasan terhadap  kebijakan pemerintah yang dianggap kurang adil.

Rangkaian gerakan aksi bela Islam yang berlangung berturut-turut semenjak akhir 2016 hampir tiap bulan, menandai perlawanan kritis mereka bukan hanya kepada pemerintah, juga kepada ormas Islam yang sudah mapan. Di mata pimpinan pergerakan perlawanan itu, elite ormas besar dianggap telah kehilangan daya kritis kepada kekuasaan. Hilangnya daya kritis, dinilai, karena hubungan dengan kekuasaan yang menahun terlalu mesra tanpa jarak.

Namun, di sisi lain, aksi bela Islam mendapatkan resonansi yang cukup tinggi. Muncul dari hamparan generasi muda yang terpapar oleh kesenjangan sosial ekonomi yang sudah menahun. Terutama mereka yang hidup dibelit kemiskinan di desa. Bukan saja terlilit kemiskinan dari sisi ekonomi, tapi juga tidak kurang kerasnya lilitan keterbatasan akses pendidikan, politik dan kesehatan.
   
Generasi muda pendukung gerakan pembaharuan ini, sebagian besar adalah mereka yang kehilangan lapangan kerja di pedesaan. Sebagian lagi yang terlunta-lunta di kota karena tertolak oleh standard  pendidikan yang mereka tidak dapatkan di daerah.

Berdasarkan data Global Wealth Report yang dibuat oleh Credit Suisse’s, yang dikutip anggota parlemen Senayan pertengahan Januari 2017, Indonesia menempati peringkat ke-4 negara paling timpang di dunia, di mana 1 persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.   

Sementara itu, juga pada pertengahan Januari itu, dalam Laporan Bank Dunia, juga telah memberikan peringatan adanya potensi ancaman  ledakan sosial akibat ketimpangan yang semakin lebar. Bank Dunia mengungkapkan bahwa di balik pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam satu dekade terakhir, dalam kurun waktu yang sama 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen aset uang dan properti nasional.

Diperkirakan sekitar 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional. Akibatnya ada 200 juta lebih penduduk Indonesia hanya menikmati distribusi kue pembangunan tak lebih dari 25 persen. Tidak mengherankan menyaksikan lahan-lahan pertanian sebagai sumber penghidupan dan sumber kebudayaan rakyat miskin, telah berpindah ke tangan konglomerat yang menebar kapital sampai ke desa.

Membangun fasilitas komersial yang menjauh dari jangkauan rakyat miskin. Merubah gaya hidup dan orientasi budaya pedesaan. Mereka yang tersingkir, mengadu nasib ke kota, setali tiga uang. Tidak mendapatkan apa-apa dari banjirnya modal besar yang berputar di kota besar.

Itulah konsekuensi dari kemiskinan yang berkelanjutan. Membuat mereka tidak memperoleh akses pendidikan. Bagi mereka yang punya sifat nekat dan sedikit modal berani,  terjun menjadi penjahat atau tukang todong di siang bolong di terminal-terminal. Atau menjadi centeng tukang pukul di gedung bisnis hiburan malam.

Mereka inilah yang menyatukan diri pada kelompok yang beranggapan Pancasila tidak bermanfaat. Tidak memberi perlindungan sesuai dengan bunyi setiap silanya. Mereka merindukan perubaham. Mereka mendambakan pembaharuan. Keberadaan seribu  wakil rakyat di kota besar yang hidup serba berkecukupan, tidak berhasil  membangun hubungan emosional  dengan rakyat yang diwakilinya.

Kasus korupsi yang merebak menjerat wakil rakyat tiap hari,  memperburuk hubungan silaturrahim dengan rakyat yang diwakilinya. Rakyat kehilangan wakilnya di tengah belantara politik yang tandus empati dan kering sifat terpuji.

Negara seyogyanya harus segera memberi solusi terobosan untuk menghindari ledakan sosial yang pasti menimbulkan kerugian. Negara perlu mempercepat terobosan kebijakan untuk menimbun jurang kesenjangan. Karena di situlah sumber penyakit penyebab memburuknya kondisi kebinekaan. Sumber penyakit yang membuat Pancasila mengalami pendarahan.

Belum terlambat bagi negara merumuskan solusi terobosan kesenjangan. Jauh lebih aman jika terbosoan solusi kesenjangan dilakukan oleh negara.  Karena kalau terlambat, maka yang melakukan adalah mereka. Mereka  yang merasa selama ini diperlakukan tidak adil oleh negara.
   
Solusi ini perlu difikirkan, dirumuskan dan dioperasionalkan sebelum terlambat. Sebelum warganegara yang kelamaan kecewa itu, tiba-tiba berubah fikiran dan sepakat mencabut mandatnya dari negara.

Perlu kesepakatan nasional baru sesuai kondisi kekinian. Tujuannya  menjaga kebinekaan. Menjaga Pancasila jangan sampai menjadi surga yang tidak dirindukan.

Penulis adalah wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Golkar. Tulisan ini adalah lanjutan dari dua artikel sebelumnya "Demokrasi Pancasila Di Depan Jalan Buntu 1 dan 2.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA