Oleh karena itu semua pihak terutama pemerintah yang mempunyai otoritas harus sungguh-sungguh dalam melakukan pemberantasan terhadap terorisme jika tidak maka pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang selalu digalakkan pemerintah dapat dipastikan tidak akan tercapai.
Sebelum terjadi teror di Kampung Melayu ada peristiwa lainnya yang perlu kita cermati yakni pengeboman di Manchester pada saat konser artis Ariana Grande yang memakan cukup banyak korban jiwa, begitu juga yang terjadi di Filipina di sana kota Malawi diserang oleh sekelompok ISIS.
Ketika hal ini terjadi saya sudah mengingatkan dalam twitter saya bahwa dua hal ini harus betul-betul diwaspadai oleh pemerintah karena jika tidak diwaspadai dan dicermati maka hal ini bisa terjadi juga di Indonesia. Tidak berselang lama satu hari setelah saya ingatkan hal itu, kemudian terjadi pengeboman di Kampung Melayu. Perlu kita ketahui bahwa setiap terjadi aksi terorisme maka sudah barang pasti aparat keamanan "kecolongan" atau tidak berhasil mengidentifikasi dengan baik gerakan para teroris. Seharusnya hal ini tidak meski terjadi mengingat telah ada gejala global serangan teroris di Manchester dan di Filipinan terlebih lagi Polri menyatakan bahwa serangan di Kampung Melayu berkaitan dengan serangan yang terjadi di Manchester dan Filipina, tentu hal ini sangat kita sesalkan mengapa pihak aparat keamanan kembali "kecolongan".
Melihat terjadinya pengeboman di Kampung Melayu, Presiden Jokowi menyatakan dengan tegas bahwa RUU Anti Terorisme harus dengan segera diselesaikan, hal senada juga disampaikan oleh Menko Polhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto dan Kapolri Jenderal Pol. Pol Tito Karnavian. Menurut Kapolri ada beberapa aspek yang penting untuk bisa mencegah terjadinya aksi teror yakni memperkuat peran polisi dalam upaya pencegahan. Selain itu yang juga perlu diperhatikan menurut Kapolri ialah yang terkait dengan rehabilitasi/penanggulangan. RUU Anti Terorisme kiranya memang penting untuk segera disahkan dan memberikan penguatan kepada kepolisian untuk dapat mengambil tindakan pencegahan sebelum aksi teror terjadi mengingat UU Anti Terorisme saat ini masih cukup lemah dalam melakukan pencegahan terhadap aksi terorisme.
Dalam UU Anti Terorisme saat ini jika seseorang melakukan pelatihan militer di gunung atau di tempat mana pun itu tidak bisa dihukum meskipun kepolisian sudah mengetahui bahwa tindakan itu bertujuan sebagai latihan persiapan untuk melancarkan aksi terorisme. Begitu juga jika para simpatisan ISIS yang berhasil dicegah untuk tidak berangkat ke Suriah dalam rangka bergabung ke ISIS juga tidak dapat dihukum padahal hal ini sudah nyata-nyata mau melakukan aksi terorisme. Hal lain misalnya berkaitan dengan organisasi masyarakat, ada beberapa organisasi masyarakat yang sudah diduga kuat bagian dari aksi terorisme akan tetapi jika ada yang bergabung ke dalam organisasi tersebut tidak dapat diproses hukum apalagi sampai dikenakan sanksi pidana karena UU Anti Terorisme yang ada saat ini tidak membolehkan hal dimaksud. Tentu hal ini cukup menyulitkan aparat keamanan dalam mencegah terjadinya terorisme.
UU Anti Terorisme yang ada saat ini memang sengat lemah dalam upaya pencegahan misalnya tindakan yang sudah mengindikasikan gerakan teror seharusnya sudah dapat diproses hukum tidak harus menunggu sampai melakukan suatu perencanaan atau tindakan nyata baru dapat dihukum karena apabila yang terjadi demikian maka aparat keamanan akan selalu terlambat dalam menangani aksi terorisme. Jika kita melihat di negara-negara eropa konsep pencegahan dalam UU terorismenya sudah dilakukan. Oleh karena itu Indonesia juga perlu menerapkan hal yang sama karenanya percepatan pengesahan RUU Anti Terorisme merupakan hal yang mendesak untuk diwujudkan mengingat pembahasan RUU Anti Terorisme sudah berjalan cukup panjang bahkan belum lama ini ditargetkan akan selesai pada bulan Mei ini, namun jika melihat proses pembahasannya di DPR masih banyak hal yang diperdebatkan yang bahkan cenderung tidak terlalu substansi. Proses pembahasan yang cukup panjang ini sebaiknya pemerintah mengambil peran dengan melakukan kerja sama yang intensif dengan DPR agar UU Anti Terorisme tersebut bisa terealisasi dengan segera. Dengan belum disahkannya UU Anti Terorisme kiranya pihak aparat keamanan juga perlu meningkatkan kewaspadaan dan menajamkan analisis intelejen agar aksi terorisme dapat dicegah dengan maksimal.
Selain pencegahan aksi teror melalui penegakan hukum yang tidak kalah penting ialah terkait dengan perlunya mencegah paham radikalisme dan proses rehabilitasi terhadap seseorang yang telah terjangkit paham radikalisme. Pencegahan paham radikalisme sangat penting dilakukan saat ini karena jika kita melihat data hasil survei Setara Institute menyatakan bahwa 9.5 persen Siswa SMA di Jakarta dan di Bandung Raya setuju dengan gerakan ISIS, 6.8 persen. Siswa SMA di Jakarta dan di Bandung Raya setuju menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan keyakinan (Sumber: Mata Najwa Episode Menagkal yang Radikal), 11 persen setuju dengan sistem khilafah dibanding sistem demokrasi (Sumber: Setara Institute, 2016).
Data-data tersebut di atas menunjukkan pada kita bahwa paham-paham yang besifat radikalisme sudah mulai menjangkiti para siswa yang merupakan generasi penerus bangsa. Angka ini jangan dianggap remeh melainkan harus disikapi secara serius, saat ini mungkin angkanya dibawah 10 persen tetapi jika tidak dicegah dengan baik bukan tidak mungkin angka ini akan semakin meningkat. Oleh karena itu diperlukan suatu pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah maupun di universitas-universitas yang bersifat inklusif dan toleran agar paham-paham radikal ini tidak berkembang biak. Begitupun juga dengan organisasi yang tidak setuju dengan Pancasila dan cenderung radikal maka sudah saatnya pemerintah mengambil langkah yang tegas untuk membubarkan organisasi tersebut.
Pemerintah juga kiranya sudah harus memikirkan langkah yang baik dan tepat untuk melakukan rehabilitasi terhadap seseorang yang telah terjangkit paham radikalisme baik itu terhadap pelaku terorisme maupun orang yang pernah bergabung dalam suatu organisasi yang memiliki paham radikal. Rehabilitasi ini menjadi sangat penting agar juga turut dapat mencegah perluasan paham radikalisme. Perlu kita ketahui bahwa jika paham radikalisme ini dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan tinggal sejarah karena radikalisme bisa merusak persatuan yang telah lama dibangun. Dengan demikian peristiwa pengeboman di kampung melayu harus kita jadikan refleksi untuk membangun upaya yang hollistik dalam mencegah paham-paham atau pun aksi-aksi terorisme sampai ke akar-akarnya sehingga aksi terorisme tidak terjadi lagi di kemudian hari.
[***]Penulis adalah Wakil Ketua Umum PPP dan Chairman Law Film Gani Djemat & Partner