Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demokrasi Pancasila Di Depan Jalan Buntu? (1)

Diperlukan Konsensus Nasional

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Sabtu, 22 April 2017, 12:59 WIB
Demokrasi Pancasila Di Depan Jalan Buntu? (1)
Zainal Bintang/net
HANYA beberapa jam setelah perhitungan cepat (quick count) hasil Pilkada DKI Jakarta diumumkan sejumlah televisi nasional pada hari Kamis 19 April 2017, di medsos pun berseliweran meme yang bertuliskan Pilkada Pasti Berlalu merujuk judul film Badai Pasti Berlalu yang dibintangi aktor Slamet Rahardjo dan Christine Hakim. Film ini disutradarai oleh Teguh Karya pada tahun 1977.  
    
Dari uraian tersebut di atas, tertangkap sebuah tamsil yang sangat jelas, yang menganalogikan Pilkada DKI Jakarta menyerupai badai. Dan tidak seorangpun yang dapat membantah bahwa proses Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung dua putaran sungguh sangat melelahkan, menegangkan dan mengerikan.

Putaran pertama 15 Februari 2017 diikuti tiga pasang calon (paslon), yaitu Agus-Sylvi, Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Putaran kedua 19 April 2017 diikuti Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Hasil hitungan cepat diungguli pasangan Anies-Sandi dengan perolehan suara kurang lebih 57 persen sementara Ahok-Djarot hanya memperoleh suara 41 persen dari kurang lebih 7,1 juta suara penduduk DKI Jakarta yang diperebutkan.

Dari mana sumber badai itu? Ada yang menyebutkan pidato Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta pada 26 September 2017 di Pulau Seribu menjadi triggernya. Ahok dituduh sengaja melakukan penodaan agama karena ucapannya mengutip surat Al Maidah 51 tidak pada tempatnya.

Ditimpali kreativitas Buni Yani yang meng-upload video pidato itu menjadi viral, maka  Basuki Tjahaja Purnama pun harus menjalani proses persidangan yang berdurasi panjang. Persidangan marathon atas kasus tersebut berlangsung di antara rangkaian jadwal kampanye para paslon. Membuat bumi politik di Jakarta semakin panas.

Tak terhindarkan, warga Jakarta terseret ke dalam arus besar dinamika politik, yang bergulir dan bertensi tinggi di antara persidangan dan kampanye.

Kedatangan Ahok ke Kepulauan Seribu ketika itu adalah untuk menawarkan program budidaya ikan kerapu pada warga pulau. Ahok juga menebarkan benih ikan kerapu yang bisa dipanen 6 atau 7 bulan setelahnya. Tujuannya mau mengajarkan cara memanen ikan kerapu,  tetapi yang terjadi malah memanen hujatan dan protes yang berujung di persidangan yang digelar  duapuluh kali, bahkan lebih.

Yang segera terbaca, apakah demokrasi Pancasila sedang menghadapi jalan buntu ? Betapa tidak, kasus Al Maidah 51 ternyata telah memantik reaksi protes umat Islam di seluruh Indonesia.

Reaksi umat Islam yang diekspresikan dalam bentuk serial Aksi Bela Islam beberapa kali di i bukota menunjukkan dua hal. Pertama, kekuatan dan kebesaran umat Islam di negeri ini tidak dapat dianggap remeh dan sesungguhnya dapat dikapitalisasi sebagai kekuatan pembangunan.

Kedua, terkesan kurang maksimalnya perhatian negara terhadap eksistensi umat Islam selama ini. Terlihat di depan mata maraknya pertumbuhan  kantong-kantong kemiskinan di seluruh Indonesia. Termasuk di kota besar dan Jakarta sendiri yang tidak jauh dari Istana. Ini berkaitan dengan politik kebijakan dan kebijakan politik. Ketimpangan ekonomi yang demikian menojol, perlahan tapi pasti ditengarai menyimpan bom waktu.

Kedua hal itu muncul  bersamaan, tepat di tengah dinamika politik perebutan kekuasaan yang berwadah Pilkada serentak seluruh Indonesia. Dan Jakarta sebagai ibu kota, dikenal sebagai etalase perpolitikan nasional, apa boleh buat- justru ketiban pulung ekses pertarungan politik.

Ajang pemilihan langsung oleh rakyat  yang seharusnya demokratis malah nyaris anarkis. Jakarta menyeret takdirnya menjadi arena pertempuran politik yang terkadang liar. Soalnya posisinya sebagai ibukota adalah markas besar semua instansi pengambil keputusan.

Mengapa harapan demokratis tergelincir ke tubir anarkis? Apa yang salah di dalam pengelolaan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Bukankah  disepakati selama ini sebagai way of life? Dengan semangat dan bara api Pancasila, kemerdekaan dapat dipertahanakan sampai hari ini.  Meskipun sejarah mencatat, bangsa ini harus  melalui berbagai macam hantaman dan gempuran yang beraroma anti Pancasila.

Apakah Pancasila akan terbiarkan menjadi "Surga Yang Tidak Dirindukan" oleh bangsa ini? Jika ditelisik alasan adanya reaksi Umat Islam sebagaimana diuraikan di atas, sebaiknya pemerintah lebih merawat lagi koridor keberagaman bangsa. Lebih mengutamakan tindak laku yang nyata di masyarakat. Kedepankan kebijakan kesejahteraan dan keadilan: Implementasikan nilai-nilai Pancasila di dalam semua rongga kebijakan pemerintah.

Kesejahteraan dan keadilan untuk bangsa yang plural ini adalah sejenis tombak kembar yang bersifat fardhu. Itulah hakekat dan esensi dari demokrasi Pancasila, tentunya dengan berbagai cabang dan ranting menyertainya. 

Pendekatan kesejahteraan dan keadilan dari masa ke masa memang sebuah perjuangan panjang yang tidak kenal lelah. Sejalan  perkembangan zaman dan lika liku sejarah, orientasi  pendekatan pun harus selalu di-updating supaya tidak usang di mata generasi muda. Sekaligus sebagai filter pengaruh globalisasi, yang datang bertamu tanpa basa basi melalui kemajuan IT yang mustahil bisa ditahan apalagi diabaikan.

Untuk menghindari melebarnya jurang perbedaan tafsir antara negara dengan masyarakat mayoritas terhadap demokrasi Pancasila, sebaiknya segera diinisiasi suatu konsensus nasional. Tujuannya menginventarisasi  perkembangan serta mengakomodasi kembali semua potensi masyarakat. Potensi bangsa di dalam posisi yang equal. Sama rata, sama rasa. Senasib sepenanggungan.

Tidak ada salahnya, prakarsa konsensus nasional (baru) ini disuarakan secara formal oleh Jokowi sebagai presiden, mengajak serta Jusuf Kalla dalam kapasitas sebagai  representasi umat Islam, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantiyo selaku tokoh Tentara Nasional Indonesia yang dapat diterima semua kalangan dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, sebagai komandan instrumen pengamanan nasional di lapangan.

Katakanlah tokoh papan atas tersebut berperan sebagai Steering Commite berbasis Negara yang bertugas mempersiapkan Term Of References (TOR).

Sementara itu, hendaknya keempat aktor negara tersebut dituntut tetap untuk satu bahasa, satu arah dan satu tujuan. Soalnya, sikap politk keempat tokoh papan atas tersebut di atas, percayalah, senantiasa menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat.

Jangankan perintahnya, bahkan ketika bersin pun tidak sengaja, para pengikutnya mengaggap itu perintah. Karena itu serta merta  mereka bersamaan bersuara koor : Siaapp..!!

Peserta konsensus nasional, tentu saja adalah semua pimpinan Parpol, Pimpinan dan tokoh lintas agama, Forum Rektor, BEM (Badan Eksekutif  Mahasiswa), tokoh-tokoh Ormas, tokoh militer atau purnawirawan  yang berpengaruh, mantan presiden dan wakil presiden serta elemen lain yang dianggap telah eksis di masyarakat.

Sumbang saran ini perlu  direnungkan sebagai masukan dari akar rumput, yang cukup ngeri dan lelah menyaksikan ketegangan politik yang anarkis dan nir demokratis. Jangan biarkan keberagaman bangsa yang indah ini  terpinggirkan oleh praktik politik amatiran dan pragmatisme. Esensi keberagaman sudah terangkum di dalam Pancasila.  Pancasila adalah rumah bangsa, rumah semua golongan.

Mengutip sebuah judul film izinkan saya mengatakan sekarang ini "Tidak Ada Waktu Untuk Bicara". [****]

Penulis adalah wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Partai Golkar.

 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA