Persoalannya bukan soal janji atau bukti, tapi soal karakter dan kompetensi yg dimiliki calon kepala daerah.
Dalam karakter ada sifat-sifat kepribadian seperti integritas (kejujuran), responsibility, kepekaan terhadap sosial, spiritualitas, nilai-nilai dalam kehidupan, respek terhadap orang lain.
Karakter perlu didampingi oleh kompetensi (skills) sehingga kepala daerah dapat berperilaku sebagai pemimpin yANg efektif dalam menghadapi berbagai situasi yang kontekstual.
Sayangnya dalam proses rekrutmen, karakter dan kompetensi seorang calon kepala daerah tidak menjadi faktor utama. Kepentingan politik dan kapital (sebagai salah satu contigency factor) menguasai proses demokrasi prosedural ini dari hulu sampai hilir.
Masyarakat tidak berperan dalam proses seleksi calon kepala daerah untuk menguji karakter dan kompetensi para calon. Padahal karakter dan kompetensi dapat dijadikan acuan untuk memprediksi perilaku pemimpin menjalankan pemerintahan.
Fakta yang terjadi selama ini, perilaku kepemimpinan lebih banyak menyerupai transactional-oriented behavior. Proses relasi antara kepala daerah dengan stake holder semata-mata hanya bersifat transaksional, berkisar pada 'saya dapat apa' dan 'anda dapat apa'.
Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan konflik antara kepala daerah dengan masyarakat menjadi bukti bahwa perilaku kepala daerah seringkali menjadi sumber masalah dan konflik.
Karakter dan Kompetensi belum cukup tanpa adanya komitmen. Komitmen inilah yang menjamin wujud perilaku kepala daerah berorientasi pada kepentingan rakyat, pada nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat dan pada etika perilaku pemerintahan.
Komitmen ini harus dapat dirasakan oleh masyarakat sejak awal sampai akhir masa jabatan kepala daerah. Sehingga trust menjadi
feedback terhadap kepemimpinan kepala daerah. [***]
Penulis adalah pengamat dari Soekarno Institute for Leadership
BERITA TERKAIT: