Fakta itu tergambar dari keterangan para saksi yang dihadirkan jaksa dalam persidangan Dahlan Iskan di Pengadilan Tipikor Surabaya, kemarin. Ada lima saksi yang dihadirkan jaksa. Semua merupakan mantan karyawan PT PWU. Tak ada satupun dari mereka yang menyebut restrukturisasi aset berdampak negatif. Apalagi merugikan keuangan negara seperti yang dituduhkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim selama ini.
Lima saksi yang dihadirkan jaksa itu ialah Yohanes Dasikan (staf umum), M. Sulchan (staf umum), Budi Raharjo (staf keuangan), Suhadi (staf umum) dan Emilia Aziz (staf personalia).
Di hadapan majelis hakim, para saksi tersebut mengistilahkan kondisi PT PWU sebelum Dahlan masuk ibarat hidup segan mati tak mau. Kondisi itu yang membuat para karyawan sempat mengalami keterlambatan penerimaan gaji. "Kondisinya seperti itu karena banyak penjualan yang tidak lancar," ujar Suhadi. Nah, kondisi pahit itu berangsur membaik ketika PT PWU dibentuk dari peleburan lima perusahaan daerah (PD). Dan Dahlan Iskan ditunjuk sebagai direktur utama (dirut).
Ketika menjadi dirut, Dahlan melaksanakan restrukturisasi aset sesuai saran konsultan Cacuk Sudaryanto. Nama tersebut merupakan tokoh manajemen terkemuka di Indonesia saat itu.
Para saksi menjelaskan, program restrukturisasi diwujudkan dengan menjual aset PT PWU yang tidak produktif. Aset yang dijual dibelikan aset yang lebih produktif. "Asset to asset. Hasilnya yang saya tahu salah satunya di Karangpilang (Industrial Estate Wira Jatim)," terang saksi Budi Raharjo.
Budi juga menjelaskan, setelah berhasil melakukan restrukturisasi aset, keuangan PT PWU mulai membaik. Sampai akhirnya bisa menyetor ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jatim. Padahal sebelumnya, jangankan setor PAD, pemprov justeru terus-terusan menyuntik dan ke PWU.
Dalam persidangan juga terungkap untuk menghidupkan PT PWU, Dahlan malah nombok. Sejak menjadi dirut dari 2000 â€" 2009, Dahlan ternyata tak pernah mau menerima hak-haknya. Mulai dari gaji sampai sejumlah fasilitas.
"Untuk gaji saya memang yang mengurusi, Pak Dahlan tak pernah mau menerima gaji. Termasuk fasilitas seperti mobil dinas," kata Emilia. Tak hanya itu, Emilia juga pernah tahu Dahlan pergi ke luar negeri untuk urusan PT PWU. Namun lagi-lagi, Dahlan tak mau menerima uang perjalanan dinas.
Yang paling membekas dalam ingatan Emilia ialah dia pernah dimarahi habis-habisan oleh Dahlan. Gara-garanya perempuan berkerudung itu mentransfer bonus tahunan ke rekening Dahlan.
Di hadapan hakim, Emilia menceritakan, setelah kondisi keuangan membaik, perusahaan bisa memberikan bonus untuk karyawannya. "Kami lantas berpikir, kan selama ini Pak Dahlan tidak pernah menerima gaji, bagaimana kalau kami beri bonus saja. Toh keuangan perusahaan sudah membaik," tutur perempuan 59 tahun kelahiran Jakarta itu.
Atas persetujuan pimpinan yang lain, Emilia mentransfer sejumlah uang ke rekening Dahlan. Ternyata Dahlan yang tahu ada sejumlah uang "nyelonong" masuk ke rekeningnya langsung mengkonfirmasi ke Emilia. Emilia mengaku telah mentransfer uang yang merupakan bonus dari perusahaan.
Saat itu juga, Dahlan marah besar. "Memang PT PWU sudah kaya, bisa ngasih bonus ke saya," tutur Emilia menirukan Dahlan. Dahlan langsung memerintahkan Emilia menarik bonus tersebut. "Saya langsung ke bank. Saya ambil uang itu dan kembalikan ke Pak Suhardi (Direktur Keuangan PT PWU)," ujar Emilia.
Tidak hanya menolak gaji dan berbagai fasilitas, Dahlan malah rela menjaminkan hartanya untuk keperluan PT PWU. Dalam persidangan terungkap, Dahlan pernah menggunakan deposito pribadinya sebesar Rp 5 miliar sebagai jaminan bank.
Jaminan itu diperlukan agar PT PWU mendapatkan pinjaman dana untuk membangun Jatim Expo. "Saat itu uang Pak Dahlan dipakai sebentar. Kami cepat-cepat ganti karena kasihan beliau. Tidak mau digaji kok pakai uang pribadinya," kata Budi Raharjo.
Dengan talangan dana dari Dahlan, Jatim Expo akhirnya berdiri hingga kini. Gedung itu termasuk menjadi salah satu tonggak kesuksesan PT PWU. Budi mengatakan, saat PT PWU masih belum sehat, sangat sulit untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Jadilah Dahlan menjadi personal guarantee.
Semua Proses Penjualan Diatur WW Dalam persidangan kemarin juga terungkap, seluruh proses penjualan aset PT PWU, yang selama ini dipermasalahkan Kejati, ternyata semuanya diatur Wisnu Wardhana (WW). Hal itu disampaikan kelima saksi mantan karyawan, sekaligus mantan tim penjualan aset PT PWU.
Kelima saksi kompak menyatakan selama menjadi anggota tim penjualan aset tak banyak dilibatkan oleh ketua tim, yakni Wisnu Wardhana. "Semua proses dilakukan oleh Pak Wisnu," jawab satu persatu saksi ketika ditanya jaksa Trimo. "Seingat saya tidak ada rapat koordinasi," imbuh saksi Emilia Aziz.
Para saksi tersebut hanya bertugas menyiapkan dokumen administrasi dan membuatkan berita acara. Lantas WW mengatur segala proses teknisnya. Mulai pembukaan proses penawaran hingga penerimaan pembayaran penjualan aset.
Apa yang dilakukan WW juga bukan atas arahan dari Dahlan. Sebab para saksi menyebut Dahlan tak pernah memimpin rapat yang terkait penjualan. "Kalau ada rapat soal penjualan dipimpin oleh Pak Ketua (Ketua Tim Penjualan Wisnu Wardhana)," ujar Emilia.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkesan terus mengarahkan saksi agar menyebut keterlibatan Dahlan. Salah satu senjata jaksa ialah adanya tanda tangan Dahlan dalam dokumen pencairan uang sebesar Rp 510 juta. Dana tersebut untuk pengosongan bangunan di Kediri yang telah dijual PWU.
Meskipun berupaya mengarahkan pertanyaan sedemikian rupa, namun fakta persidangan menunjukan Dahlan tak pernah menandatangani dokumen pencairan dana tersebut. Tanda tangan dalam dokumen yang didapat jaksa itu ternyata hanya disposisi Dahlan.
Terkait hal ini, majelis hakim sempat mempersilahkan Dahlan menjelaskan. Dahlan mengatakan, selama menjadi direktur utama di banyak perusahaan, dia membuat keputusan tak mencampuri urusan keuangan.
Menurut Dahlan, jika semua urusan harus lewat dia, maka perusahaan akan macet. "Semua tahu saya tak mau ikut urusan keuangan. Saya tidak tanda tangan cek, tidak tanda tangan prosedur pencairan. Jadi tak perlu acc saya agar uang cair," jelasnya.
Bukti yang dikantongi jaksa menurut dia hanya sebuah disposisi. Ceritanya, Wisnu pernah menemui Dahlan. Dia curhat bahwa sampai bulan Oktober belum ada pencairan dana untuk pengosongan bangunan di atas tanah yang dijual.
Padahal pengosongan itu sangat penting. Sebab jika tak dikosongkan maka PT PWU harus membayar denda keterlambatan 1 persen per hari. "Saudara Wisnu kemudian minta tanda tangan saya agar pengosongan segera diproses, bukan dicairkan," jelasnya.
Menurut Dahlan, disposisi itu tak bisa mempengaruhi pencairan. Sebab proses pencairan uang di PT PWU sudah ada mekanismenya sendiri. Sebagai pegawai keuangan, saksi Budi Raharjo diminta hakim menjelaskan mengenai pencairan uang tersebut. Apakah pencairan itu atas perintah Dahlan atau Direktur Keuangan (Dirkeu) Suhardi. ***
BERITA TERKAIT: