Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Athirah, Film Terbaik FFI 2016

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Selasa, 08 November 2016, 06:15 WIB
<i>Athirah</i>, Film Terbaik FFI 2016
Athirah, Film Terbaik FFI 2016
Tatang Muttaqin


DI sekitar tahun 1990-an, seiring dengan menjamurnya televisi swasta, perkembangan dunia hiburan, baik yang bersifat entertainment maupun infotainment demikian gegap gempita.
Ironisnya kenyataan ini berbanding terbalik dengan kondisi perfilman nasional yang semakin lesu darah atau bahkan mati suri saat itu, terutama seusai Festival Film Indonesia (FFI) 1993 yang dianggap sebagai festival terakhir, mengingat tahun-tahun berikutnya nyaris tiada produksi film yang layak festival.

Kenyataan tersebut jelas sangat memprihatinkan, apalagi sangat disadari bersama bahwa perfilman bukan sekedar industri tetapi juga merupakan salah satu icon budaya dan sekaligus juga sebagai wahana sosialisasi nilai-nilai. Dengan demikian, kelesuan jagad perfilman nasional merupakan hilangnya salah satu icon budaya dan citra sebuah bangsa.

Barangkali anggapan tersebut untuk sebagian pihak terlalu berlebihan, namun kenyataan menunjukkan dunia perfilman suatu bangsa merupakan cermin dan citra suatu bangsa sehingga tidak berlebihan apabila negara yang sudah agak maju secara ekonomi senantiasa melirik pentingnya perfilman.

Australia misalnya, mengalokasikan dana yang sangat luar biasa untuk membuat icon baru melalui pembuatan lembaga pendidikan pelatihan perfilman yang super modern sehingga diharapkan mampu mendominasi Holywood. Demikian halnya India dengan Bollywood-nya, atau bahkan Malaysia dan Republik Islam Iran yang memperhatikan secara serius dengan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk melahirkan film-film nasionalnya.

Meskipun kondisi perfilman nasional saat itu menyedihkan, namun insan perfilman tak pernah surut berkarya. Misalnya, dengan perhatian dan upaya fasilitasi pemerintah saat itu minim sekalipun masih ada energi yang tersisa. Buktinya, sineas sekaliber Garin Nugroho misalnya, tetap saja berkreasi dan ternyata juga senantiasa mendapat penghargaan internasional. Geliat Garin Nugroho ini dikuti deretan sineas seperti: Riri Reza, Mira Lesmana, Nia Dinata, Rudy Soedjarwo, Hanung Bramantyo, Rizal Mantovani, Guntur Soehardjanto, Ody C. Harahap, dan lain-lain, yang tampaknya jumlahnya tidak sedikit.

Generasi baru juga mulai menggeliat semisal Joko Anwar, Ismail Basbeth, Mouly Surya, Sidi Saleh dan lain-lain yang menunjukkan bukti adanya secercah harapan napas kehidupan perfilman Indonesia bahkan dalam ajang ajang penghargaan tertinggi bagi dunia  perfilman Indonesia, Festival Film Indonesia (FFI) 2008 diikuti 55 film.

Beberapa film yang cukup dikenal saat itu Ada Apa dengan Cinta, Tragedi, Jakarta Project, Petualangan Sherina, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Pachinko, Kuldesak, Pasir Berbisik, May, Fiksi, Under theTree, Radit & Jani, 3 Doa 3 Cinta , The Butterfly, Lost in Love, Doa yang Mengancam, Kuntilanak 3, Otomatis Romantis, Perempuan Berkalung Sorban, Kawin Kontrak, Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan lain-lain.

Sewindu kemudian, peserta FFI melonjak sebagaimana disampaikan oleh Ketua Bidang Penjurian FFI 2016, Olga Lydia. Tak kurang dari 263 film yang mendaftar, terdiri dari: 88 film bioskop, 145 film pendek dan 30-an animasi. Salah satu film yang banyak menyabet piala FFI adalah Athirahdengan 6 kategori dalam: (1) penata artistik terbaik; (2) penata busana terbaik; (3) sutradara terbaik; (4) penulis skenario adapasi terbaik; (5) pemeran utama wanita terbaik; dan meraih supremasi sebagai film terbaik.

FFI merupakan perhelatan penting untuk insan film sebagaimana konferensi ilmiah di kalangan akademisi untuk terus mengukur dan mengukir kualitas perfilman sebagai karya seni dan ikon peradaban bangsa. Dengan juri yang berkualitas dan kredibel mampu menyodorkan penilaian yang melampaui penikmat biasa. Untuk penilaian umum sebagai sebuah industri, jumlah penonton bisa menjadi ukuran namun bukan refleksi kualitas film sebagai sebuah industri. Di sinilah menjadi lumrah film yang meraih banyak penghargaan namun biasa ditilik dari jumlah penonton, demikian pula sebaliknya.

Film Athirah yang diadaptasi dari novel karya Alberthiene Endah ini berkisah tentang ketangguhan dan kesabaran seorang ibu atau Emak. Film ini diinspirasi dari kisah Ibunda Wakil Presiden, Jusuf Kalla yang menggambarkan pergulatan perempuan dalam mempertahankan keutuhan keluarga karena ada perempuan lain yang memasuki kehidupan pasangannya.

Pengerjaan yang serius, telaten dengan kekuatan visualisasi yang apik mampu menampilkan secara ciamik luapan perasaan asa dan cita lewat transformasi kepedihan menjadi semangat yang berkobar sehingga wajar jika meraih banyak penghargaan. Alur cerita film menginspirasi penonton tentang sebuah persembahan ketulusan dan passion serta keteladan kaum ibu di manapun mereka berada. Kaum ibu mampu tegak berdiri di atas kaki sendiri dalam deraan hidup yang tak ringan dengan hati yang melepuh namun tetap menampilkan senyumnya yang tulus untuk anak-anak, keluarga dan rumahnya sehingga menjadi tempat bernaung nyang nyaman (sakinah).

Emak merupakan jangkar dalam biduk rumah tangga manapun. Teori Kelekatan atau attachment theory yang dikembangkan psiko-analis dari Inggris, John Bowlby (1907-1990) telah duji coba berulangkali bagaimana fenomena dan intensitas stress pada bayi dan anak yang terpisah dari jangkarnya, ibu. Teori kelekatan ini memiliki kemiripan dengan fenomena pohon kurma, salah satu tumbuhan yang banyak disebut dalam Al-Quran setidaknya ada dalam 15 ayat, pohon kurma (tamr).

Ketika berkunjung ke kebun kurma, saya mendapatkan penjelasan yang sangat menarik dari pemilik kebun kurma tentang cara bercocok tanam kurma. Salah satu yang paling mengesankan adalah kemiripan pohon kurma dengan manusia dalam kelekatan dengan tumbung kembang yang popular disebut dengan kelekatan. Karakter pohon kurma yang berumpun dan berkembang lewat pencabangan sebagaimana tersurat dalam QS Ar-Ra’du 4 "..dan jenis-jenis tanaman serta pohon-pohon kurma yang berumpun dan yang tidak berumpun."

Menurut penjelasan pemilik kebun, untuk mengembangbiakkan pohon kurma, anak pohon kurma dipindah namun tak boleh terlalu jauh dari induknya kalau terlalu jauh tak akan tumbuh. Nampaknya pohon kurma sekalipun membutuhkan kelekatan dengan induknya, apalagi manusia. Ibu adalah sumber mata air (kehidupan) dan juga akan terus menjadi mata hati anak-anaknya.

Maka narasi film Athirah memang sangat mengena sehingga membuat saya menerawang kenangan Emak, yang selalu menyiapkan bekal ketika kami mau pergi, seperti kuliah dan tinggal berjauhan. Bekal-bekal seperti makanan, beras dan semacamnya sebenarnya tak perlu karena sudah diongkosi uang namun tetap saja naluri seorang ibu akan menyiapkan banyak hal untuk anak-anaknya, bahkan ketika saya sudah berkeluarga sekalipun. Itulah kasih orang tua pada anak cucunya yang tentu tak akan mampu direplikasi oleh anak padaorang tuanya. Wajarlah bila surga sebagai simbol kebahagiaan berada dalam telapak kaki ibu.

Selamat untuk seluruh kru Athirah! [***]


Penulis adalah anngota Pokja Film Kompetitif Nasional, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2003-2005.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA